Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Siang sudah hadir dalam tugasnya. Cek. Kupancarkan terik yang tidak seberapa panas ini pada bumi. Seperti biasa, mereka akan berpikir sebaliknya.
Suasana kota Jakarta Barat sangat terik. Seorang lelaki keluar dari mobil langsung keringat. “Kau tunggu disini,” katanya pada gadis berusia 15 tahun. Gadis itu mengangguk. “Dia tidak memanggil namaku lagi sejak itu. Yosanna. Waktu itu dia hanya pura-pura baik. Huh……aku tahu hari ini akan tiba. Mengapa aku merindukan senyuman itu?” aku terus memandang atap mobil sampai aku melirik pemandangan di depanku. Ada penjual buah-buahan. Ibu itu memiliki anak rupanya. Rambutnya sudah disemir sejak kecil. Apakah itu tak berbahaya ya? Dia mengelus kepala anak itu. Tampang mereka lusuh, tapi mereka senang. Lihatlah perbedaan dunia mereka. Aku memakai AC dalam mobil sementara mereka merasakan angin alami. Seimbang. Tapi bedanya aku ada payung yang melindungi dari sinar matahari, sedangkan mereka tidak. Aku penasaran, apakah mereka pernah kesal pada orang seperti kita? Apalagi kalau yang membeli dagangan mereka adalah orang kaya. Dengan pakaian yang anggun, wajah yang mulus, rambut yang lurus, tangan yang kurus, mereka memberikan uang itu. Apakah mereka bersedia menukarkan dagangan mereka dengan luar fisik pembeli mereka?
Pandanganku buyar saat anak kecil itu menangis. Aku kaget karena raut wajah sang ibu berubah. Dia langsung memaki anaknya. Sangat berbeda dari sebelumnya. Bagaikan anak itu bukan anak kandungnya. Mirip seperti anak orang asing. “Sudah kubilang jangan pernah menangis! Kau yang membuatku seperti ini. Aku harus menjadi ibu yang berhati malaikat oleh masyarakat, tapi bukan itu yang aku inginkan. Aku ingin pergi berkeliling dunia dengan bebas. Bukan terperangkap dengan anak sepertimu!” teriaknya secara terang-terangan. Ibu itu pergi menjauh dari anaknya. Orang-orang di sekitar cuek, kecuali kawan senasib dengan ibunya. Ia juga penjual buah-buahan. “Tarei, sudahlah. Jangan dengarkan Ibumu ya. Hari ini dia sedang sensi akan sesuatu, yang pasti bukan dirimu. Jangan dipikirkan.” Dipeluklah Tarei dalam dekapannya. Tapi Tarei memberontak.
“Tapi, mobil ini selalu menjadi beban karena dia tempat jualan kita tidak kelihatan? Bukankah dia jg salah?”
“Akar panjang itu juga membuat orang sering terjatuh saat melewatinya. Bukankah ia juga parasit?”
“Juga sinar matahari ini, teriknya selalu panas saat siang hari. Dia yang membuat kita keringatan sepanjang hari. Benar bukan?”
Tarei berteriak membalas, tak terima dengan perkataan ibunya. Wow, dia sampai menyalahkan alam. Menurutku, ini sudah berlebihan. Tadi Tarei juga menyalahkan mobil ini. Maaf, tapi mobil ini bukan milikku. Jika milikku, maka sudah pasti aku tidak akan memarkirkannya disini. Aku akan berkata begitu jika aku punya kuasa. Ibunya tetap berjalan pergi. Omongan Tarei hanya dianggap angin lalu saja. Tarei menangis lagi. Kali ini lebih keras. Aku sudah tidak tahan. Aku segera membuka pengunci mobil. “Mau ke mana kau? Jangan sok, ayo pulang. Segera makan terus tidur. Sudah menjadi parasit keluarga masih mau menambah lagi dosamu?” Ah, iya benar. Aku saja menjadi beban keluarga, bagaimana bisa membuat tangisan Tarei berhenti dalam sekejap? Memangnya aku siapa, sang motivator? Aku menggertakkan gigiku.
Dengan begini, tidak ada yg dapat menghentikan anak dan ibu tersebut.
Cycle itu tetap terulang.
Pertanyaannya, siapa yg dapat menghentikannya? Tidak tahu. Itu masih menjadi misteri.