Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sang Saka Merah Putih sudah terbentang di langit dengan gagahnya sejak beberapa menit yang lalu. Para murid dengan khidmad mendengarkan amanat dari pembina upacara. Sebagian yang lain mengantuk menunggu si pria tua botak itu menyelesaikan pidato membosankannya.
Langit yang tadinya cerah sekejap berubah menjadi sangat gelap. Rasanya seluruh awan di penjuru negri berkumpul di atas SMK Harapan Bangsa kala itu.
“Mantap, buruan turun dong ujan!”
Ledakan guntur di cakrawala menggetarkan jiwa setiap orang di sana. Akan tetapi ada yang aneh dengan kilatan yang muncul bersamaan dengan gelegar petir barusan. Pada umumnya kilatan petir putih kekuningan atau kebiruan akan menerangi angkasa.
Kali ini tidak, halilintar yang baru saja terlihat di langit, berwarna hitam kelam. Sangat menakutkan dan membuat ngeri siapapun yang melihatnya.
“Aaaaaaaa....” terdengar suara jeritan yang melengking dari salah satu seorang siswi di tengah kerumunan ratusan orang berpakaian putih abu-abu itu.
Ada satu orang siswa yang tiba-tiba terjatuh tak sadarkan diri, dengan luka bocor di kepalanya. Darah orang ini terus mengalir hingga mengenai alas sepatu murid lain di dekatnya. Orang-orang di sekitarnya meninggalkan barisan dan menjauhi jasad bersimbah darah tersebut.
Tidak berselang beberapa lama..., “iiaaaaa...” terdengar teriakkan dari tempat lain.
“Apa yang sebenarnya terjadi?”
Suara kepala sekolah yang menggema di mikrofon kemudian terdengar “j-jangan panik, anak-anak. Cepat masuk ke kelas kalian masing-mas-”
“Bruk” “Ngiiingg” bahkan kepala sekolah juga tidak luput jadi sasaran. Tubuh kepala sekolah terjatuh bersama mikrofon yang dipegangnya.
Mala petaka yang lebih menakutkan pun datang. Ratusan, tidak bahkan ribuan kelereng berwarna hitam pekat berjatuhan dari udara. Hujan kelereng, bisa kau bayangkan? Benda keras itu jatuh dari ketinggian maksimum. Gaya gravitasi membuat kelereng-kelereng ini sama kuatnya dengan peluru yang ditarik dari sebuah pelatuk.
Anehnya, hujan ini hanya terjadi di area lapangan saja. Sehingga bangunan sekolah tidak menerima kerusakan sama sekali.
Seluruh manusia yang ada di lapangan, baik murid maupun guru berlarian dalam kepanikan untuk menyelematkan nyawa mereka masing-masing. Hujan itu semakin lebat. Membuat korban yang berjatuhan juga terus bertambah.
“Mingggiiir…!” seorang guru paruh baya berlari sekencang yang ia bisa tanpa menghiraukan sekelilingnya. Guru tersebut bahkan mendorong beberapa murid hingga terjatuh agar dirinya sampai di serambi kelas lebih dulu.
***
Dari keseluruhan tujuh ratus orang, hanya tersisa kurang lebih setengahnya saja yang masih bertahan hidup. Mereka yang masih mendapat kesempatan untuk hidup berkumpul di kelas-kelas terdekat dan menenangkan diri.
Tanpa alasan yang jelas, ada satu anak laki-laki berjalan ke tengah lapangan. Pemuda itu dengan santainya berjalan melewati tumpukkan mayat tanpa bereaksi sama sekali. Wajahnya hanya datar-datar saja. Diambilnya mikrofon yang tergeletak di tanah, lalu ia naik ke podium tempat kepala sekolah berpidato beberapa menit yang lalu.
Ketika sampai di sana, dia tersenyum. Bahkan tidak selesai sampai disitu, dia kemudian tertawa terbahak-bahak di depan mikrofon yang masih menyala. Suara tawanya menggema di seluruh sekolah. Orang-orang yang tadinya masih duduk termenung mulai berdiri, menengok, dan memperhatikan ke arah siswa tersebut.
Sepasang sayap kelelawar besar berwarna hitam menyembul dari punggung lelaki itu, mengoyak seragam putihnya.
Mulutnya kembali mendekati mikrofon “selamat datang di Dark Game. Mulai dari sini, mohon kerjasamanya ya. Hiahahahaha.”