Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Bu guru! Bu guru!” seru Tasya sambil berlari panik ke arahku. Ia menangis sesegukan hingga sulit mengambil napas.
Aku membungkuk, menyejajarkan mata kami. Kuelus rambutnya dengan lembut dan tersenyum. “Ada apa, sayang? Kok nangis?”
“Ada Tante jahat di luar!”
Aku mengerutkan dahi sambil memanjangkan leher melihat ke luar pagar sekolah. Seorang wanita cantik nan modis dengan balutan gaun merah sedang berjalan mendekati kami.
“Dia bilang, dia akan jadi Mama Tasya. Tasya nggak mau! Tasya cuma mau sama Bu guru!”
Deg.
Mendengar kalimat itu membuat jantungku berdebar kencang. Memang, sejak pertama kali Tasya masuk ke TK ini, mataku selalu tertuju pada sosok Papa Tasya yang tampan dan terlihat baik. Duda keren.
“Sayang, sudah ya... jangan nangis terus. Nanti nggak cantik lagi,” bujukku sambil menyeka air mata di pipinya.
Wanita yang disebut Tante jahat itu mendekat, membuat Tasya langsung menyembunyikan dirinya di balik punggungku.
“Tasya, sini sama Tante!” perintahnya sambil mengulurkan tangan.
“Nggak mau! Tasya cuma mau sama Bu guru!” teriak Tasya.
“Sini, sama Tante!” Ia menaikkan satu oktaf suaranya sambil menarik paksa tangan Tasya hingga anak itu berteriak kesakitan.
“Bu! Jangan tarik Tasya! Kasihan dia kesakitan!”
“Apa peduli kamu? Kamu hanya guru di sini, sedangkan saya adalah calon mama Tasya!” teriaknya.
“Siapa yang bilang begitu?!” seru sebuah suara bariton mengagetkan kami. Serempak kami menoleh dan mendapati Papa Tasya mendekati kami.
“Helen, kamu dengar ya. Saya tidak pernah menyetujui perjodohan kita. Saya hanya akan menikah dengan wanita pilihan anak saya!”
Aku menelan ludah.
Bisakah aku berharap?