Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku berteriak sekencangnya. Memaki sekuat tenaga pada barisan tentara. Ah bukan, mereka adalah penjahat negara. Tunggu, bagiku mungkin negara. Namun bagi mereka, ini hanyalah daratan berlian berisi sampah manusia, yang bisa mereka renggut hartanya, tumpahkan darahnya. Namun tidak dengan jiwanya.
Kulontarkan makian. Bahkan yang terburuk. Yang tak pernah keluar dari lisan.
"Penjahat!"
"Kejam!“
“Terlaknat!“
"Biadab!"
“Kalian pantas mati!“
“Dasar kera dan babi!"
Jangan salahkan aku. Mereka memang keturunan kera dan babi. Kau tak dengar dongengan orang dulu? Bahkan itu sejatinya sejarah yang membongkar deretan dosa mereka masa lalu. Orang-orang terpilih saja yang tahu.
Kupandangi lagi deretan yang kini berganti leburan. Akibat bom di tengah pemukiman. Tentara disana itu sungguh pengecut. Mereka melempar senjata pada pemukim yang terlelap. Kalau berani, satu lawan satu.
Lebih pengecut lagi, ialah mereka yang berjas dan berdasi. Kuyakin mereka tak berani. Kecuali jika antek-antek pendukung memacu. Mereka datang dari arah matahari tenggelam di akhir waktu, menyokong agar terus maju, dengan senjata yang entah bagaimana membuat bisu.
Untuk apa mengirim juru damai yang tak mampu bersuara. Untuk apa menggelar meja tanpa penyelesaian apa-apa.
Kudengar deretan peluru menderu, penutup dentuman dan kepulan meletup. Langit menjadi kelabu. Teriakan mengiris kalbu. Aku hanya bisa memaki mereka lagi, lebih kuat, lebih lantang.
"Kuminta pergi atas dasar kemanusiaan!"
"Ini bukan negeri kalian!"
"Kalian tak pernah dijanjikan!"
"Tanah ini tak lagi sebuah perjanjian!"
Sesosok bayi mendekati visualku. Terbujur kaku, putih, membeku. Di kepalanya terbalut kain sobekan. Sang ayah melepasnya, membersihkannya, menggantinya dengan kafan.
Pandangan berganti. Sekumpulan pemuda berbaju lusuh lagi berdebu. Mereka menggenggam ketapel dari kayu. Berteriak sepertiku, mereka meluapkan tenaga muda, melesatkan batu pada mobil baja.
Makin geram lah aku. Makian demi makian terucap tanpa jeda ketika tentara itu maju atas nama junjungan segitiga bermata satu.
"Kalian hanyalah pembunuh sadis! Tak layak berdiri di atas Baitul Maqdis!”
“Kalian membunuh anak dan wanita dengan biadab!”
"Kalian merusak toleransi kedamaian berabad-abad!”
"Kalian mengusir dan merampas sejenak jidat!”
Lelah juga akhirnya, begitu aku tersekat. Mereka tak akan pernah mendengar. Makianku mustahil sampai, bahkan sekalipun yang terdekat.
Sebab, apa kau tahu yang tak kalah buruk dari mereka? Ialah aku. Yang hanya memaki berdiri di depan berita. Memutar penjajahan di antara jeda iklan suka ria dunia, sebagai manusia merdeka.
***