Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
PEMBISIK
Karya Dian Onasis
"Sudah kautulis?"
Aku mengangguk.
"Sudah kauedit?" Ario mendesak.
Aku kembali mengangguk sembari membawa laptop pindah ke ruangan lain. Aku tak ingin Mas Fuad melihatku bicara dengan Ario di tengah malam begini.
"Mau ke mana?" Pertanyaan Mas Fuad menghentikan langkahku.
"Ke perpustakaan. Biar lebih fokus menulisnya," kujawab tanpa melihat Mas Fuad. Aku yakin dia kembali curiga.
"Jangan terlalu larut. Kamu tahu kalau letih, pikiranmu merantau ke tempat yang sulit kujangkau," tegas Mas Fuad.
Aku menunduk. Tak ada kalimat lebih lanjut dari kakakku itu. Aku bergegas naik ke perpustakaan keluarga dan meletakkan laptop di atas meja.
"Aku boleh baca?"
"Sssttt!" Dengan nada jengkel kuletakkan telunjuk di depan bibirku dan menatap kesal pada Ario.
"Kamu dengar kata Mas Fuad? Kamu ingin kita dipisahkan lagi seperti tahun lalu? Jangan terlalu ribut!" Kulirik Ario. Dia mengalah dan memilih diam. Kulanjutkan ketikan naskah. Ada beberapa bagian yang perlu direvisi.
"Ah tamat!" Akhirnya naskah pun mencapai kata tamat. Aku yakin senyumku lebar sekali. Ario berdiri dan ikut tersenyum.
"Terima kasih untuk ide dan sarannya," bisikku perlahan. Ario mengangguk senang.
"Besok kau kirim ke penerbit buku anak itu?" tanyanya penuh harap.
Aku mengangguk dengan mantap.
Ario tertawa tanpa suara.
"Aku harus tidur. Mas Fuad bisa curiga jika ngobrol melulu. Sana, kamu juga harus tidur."
Ario mengangguk dan bergerak cepat masuk ke salah satu buku dongeng favoritku.
"Sampai jumpa besok lagi, ya. Terima kasih telah menuliskan semua kisah hidupku ke cerita genre anak karyamu."
Aku mengacungkan jempol. Kubergegas turun dan mendapati Mas Fuad masih duduk di ruang tengah sambil membaca buku. Aku hanya tersenyum tipis dan meninggalkannya. Belum sampai di kamar, kudengar suara telepon. Ternyata ponsel mas Fuad berbunyi. Kupasang telinga baik-baik. Ya! Aku menguping.
"Iya Mam. Marsya baik-baik saja. Dia hanya mengetik seharian. Katanya dapat ide bagus. Apa? Nggak..., nggak ada. Dia hanya menulis di laptopnya. Eh? Nggak..., dia udah nggak bicara sendiri lagi. Iya..., aku perhatikan dari tadi. Oke mam."
Klik!
Aku tersenyum. Practice makes perfect. Latihan pura-pura nyuwekin Ario saat Mas Fuad ada di dekatku berhasil. Semuanya akan terlihat normal bagi Mas Fuad. Aku nggak akan kembali ke rehabilitasi itu lagi. Senyumku mengulas lebar. Kututup mata, saat sebuah suara berbisik, "Ssst... kenapa Ario saja yang kaudengar dan ajak bicara? Kenalkan, Aku Rangga. Aku bisa menceritakan kisah hidupku padamu. Kujamin kau akan suka."
Aku mengerenyit dan memicingkan mata ke arah suara. Tampak bayang hitam putih pemuda tanggung memegang sebuah pisau buah. Wajahnya menyiratkan sebuah cengiran nakal.
Aku mengerjapkan mata. Sosok itu menghilang. Jantungku berdebar keras. Wah, seorang Pembisik baru. Kisah apa yang akan diceritakannya padaku? Kuteringat pisau buah yang dipegangnya. Aku merinding, namun juga exciting. Kita lihat nanti. Semoga aku bisa mengelabui Mas Fuad lagi.
😁😁