Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tidak lebih dari sekadar bayang-bayang di rumah kecil ini. Dia tidak pernah menganggap keberadaan orang lain sebagai sesuatu yang berarti. Selain kakak, ibu kami—si wanita gendut—dan lelaki berambut putih yang kami sebut ayah ... dia tidak mau menghabiskan waktu untuk menatap, apalagi menyapaku.
Aku, si bayang-bayang itu ... sepertinya akan memudar saat dia membuang muka. Mereka pergi bersama, memetik puluhan jambu air di belakang rumah, dan merebus empat telur ayam tanpa mengajakku. Belakangan, aku merasa seakan sudah terbuang begitu saja.
Orang bilang, aku tidak sengaja berada di dunia ini. Lantas, apa haknya untuk tidak mengakuiku sebagai 'seseorang'?
Jadi, pagi-pagi sekali, aku sudah lebih dulu menanam tumbuhan-tumbuhan baru dan merebus lima buah telur besar. Lantai rumah kami terlihat seperti baru, dan tembok bata berubah warna menjadi oranye cerah setelah dibersihkan. Seingatku, dia sangat menyukai bunga liar berkuncup biru-kuning yang pernah ayah petik di puncak bukit. Daunnya bergelung kehijauan, dan tangkainya dipenuhi duri pendek.
Sebelum dia bangun, aku sudah berdiri di lereng dengan keranjang kosong. Kuangkat rok merahku sampai ke lutut, lalu mulai melangkah pelan. Butuh waktu sekitar lima belas menit hingga warna-warni bunga itu tertangkap mata. Mereka tumbuh rimbun di dekat semak-semak, sementara tetesan embun membasahi dedaunan.
Semilir angin berembus bersama suara asing saat aku mulai memetik.
"Beri aku lebih!"
Kepalaku mendadak pening. Dia mau apa supaya bisa melihatku? Kenapa kerenggangan kami membuatku mengkhayalkan suaranya?
Dengan serampangan, kupetik lebih banyak bunga. Mulai dari yang masih hijau, berdaun kecil-kecil, hingga yang paling besar—di bagian paling ujung dan berwarna cokelat layu.
Bunga-bunga itu tiba-tiba kelihatan memuakkan. Aku melangkah mundur untuk memperbaiki pandangan dari rimbunan semak. Langkahku goyah selama sepersekian detik hingga nyaris tergelincir.
Selama beberapa saat, detak jantungku berpacu.
Untuk apa?
Aku melakukan ini untuk apa? Dan untuk siapa?
Ketika beberapa pencari kayu bakar mendekati semak-semak yang sama, aku buru-buru menuruni bukit, kembali ke rumah kecil kami tanpa mengharapkan apa-apa.
Anehnya, suaranya berubah. Dia berkata di kepalaku, "Aku tidak meminta lebih. Aku minta maaf."
Suara itu terngiang-ngiang bagaikan dentuman drum dan detak jantung seseorang—berpacu kencang, lalu semakin pelan, sebelum akhirnya berhenti.
Aku kebingungan.
"Kamu mau apa?"
Suaranya muncul lagi, tegas dan lembut di saat bersamaan.
"Aku ingin dilihat semua orang," jawabku pelan, menatap matahari terbenam di depan rumah kami.
Bunga-bunga itu seolah menghitam ketika bayang-bayang bunga yang sama tergeletak di atas meja makan kami. Keranjang yang sama pun ada di sana, terbalut tanah kotor dan daun-daun kecil. Kuncup biru-kuningnya pudar dan terpisah dari tangkainya.
Apa yang terjadi?
Beberapa pencari kayu bakar yang sama berdiri di sekitar dipan, sementara dia duduk di sebelah seseorang yang sangat mirip denganku. Tatapannya menerawang, nyaris tanpa ekspresi.
Tatapannya ... ditujukan ke arahku.
Orang itu, yang mengenakan rok merah dan memegang setangkai bunga, kelihatan sangat kotor dan penuh luka. Dahi dan pipinya berdarah, tangannya lebam, dan pakaiannya sobek-sobek.
Salah satu pencari kayu bakar mendekati dia dan ayah, lalu berkata, "Pagi tadi kami melihat gadis ini tergelincir. Butuh waktu lama untuk mengangkatnya. Sayang sekali."
Aku menangis haru, karena dia akhirnya mau menatapku.