Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tut! Tut Tut!
Ah, gagal lagi.
Aku coba lagi.
Ku tekan tombol telepon umum ini lagi.
Lalu ku rasakan desiran dingin angin yang menyelinap masuk ke dalam kotak telepon, tempatku berdiri saat ini.
"Ayo dong angkat, please...", pintaku pelan.
Entah sudah berapa kali aku memohon seperti itu, tapi tetap saja....
"Halo...", suara seorang wanita dewasa terdengar dari balik telepon. Suaranya amat berbeda dari suaraku yang masih imut-imut ini, suara khas anak yang masih berusia 5 tahun.
Aku terdiam, akhirnya aku mendengar suara itu. Tapi jantungku seketika berdebar hebat.
"Halo...", ucapnya lagi.
Aku masih terdiam.
"Halo? Siapa di sana?", tanyanya lembut.
Dengan terbata-bata, aku mulai berbicara "Ha... Ha... Halo... A... Aku Ria."
"Ria?"
"Iya. Ria...", jawabku.
"Ria siapa ya?"
"A.. Aku... Maaf. Aku gak punya banyak waktu. Aku cuma mau bilang... Terima kasih sudah berani mengejar mimpimu. Terima kasih sudah berani menaklukan semua rasa takutmu. Dan..."
"Eh?"
"Dan... "
Aku terdiam sejenak, menarik napas amat dalam, lalu ku lanjutkan lagi.
"Dan... Terima kasih sudah menjadi dirimu sendiri."
Aku kembali terdiam, begitu juga wanita itu.
"Itu saja.", lanjutku pelan.
Selama beberapa saat kami berdua saling terdiam lagi. Tapi sekarang, aku merasa lebih tenang, aku sudah mengatakannya.
"Oh iya. Selamat ya, hari ini kamu telah menjadi Ibu.", kataku dengan lebih bersemangat.
Terdengar suara tangis bayi dari dekat wanita itu.
"Hm.. Iya, terima kasih. Tapi... Kamu Ria siapa ya?"
"Kamu tahu. Kamu sangat mengenalku."
"Hm..."
Aku mendengar suara pintu dibuka, lalu terdengar sayup-sayup suara wanita dewasa lain yang mulai bercakap dengannya.
"Selamat pagi Bu Ceria Pramitha, saya cuma mau ngecek, apa ada masalah dengan produksi asinya?"
"Ah itu. Nggak ada kok Sus. Lancar-lancar saja."
"Ah syukurlah."
Mendengar percakapan keduanya, aku pun tersenyum, semakin tenang.
Kemudian, aku melihat ke luar kotak telepon. Ternyata, sudah ada begitu banyak anak kecil lainnya yang sedang mengantri, bersama banyak kupu-kupu yang terbang ke sana ke mari. Antriannya begitu panjang, mengular sampai di ujung pelangi, di balik bukit.
Aku menutup panggilan itu dengan senyum yang kian merekah. Aku lalu membuka pintu, keluar dari kotak telepon itu.
Dengan senyuman yang tak kunjung pudar, aku berjalan menjauh sambil sesekali menoleh ke belakang, melihat kotak telepon itu lagi, dan jika pandangan kamu jeli, kamu bisa melihat tulisan "Inner Child Call" di bagian atasnya.
Aku terus berjalan dan terus berjalan. Tapi aku ingin berhenti sejenak.
Kini aku sedang memandang kamu, berbicara denganmu sambil tersenyum. "Aku sudah menghubunginya. Kalau kamu kapan, kawan?"