Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
1878...
Sebuah kuda berpacu cepat dan mengobrak-abrik markasku.
“Ada apa ini?” tanyaku dalam bahasa isyarat.
“kami curiga salah satu pribumi memgkhianati kami” (ucap William dalam bahasa Belanda.
Ia mendekatiku dan menatap wajahku yang kini mengenakan topi tentara khas mereka.
“Sejak pertama kali saya tidak pernah melihatmu melepas topi dan membuka pakaianmu.” (dalam bahasa Belanda)
Ia semakin mendekat lalu menyentuh topiku. Aku berusaha setenang mungkin dan menatap matanya.
Ia berusaha menarik topiku. Namun segera kutangkis. Ia segera menodongkan senapannya tepat di dahiku.
Nafasku mulai tak terkendali.
“Kami tak segan menembakmu, jika kamu trrbukti berkhianat” (dalam bahasa Belanda)
“Hei! Apa yang kalian lakukan. Cepat pergi ke bukit. Kita latihan. Penduduk setempat sedang merencanakan penyerangan!” ucap kapten Robert menggunakan bahasa Belanda.
“Klaar!” jawab William.
Salah satu tentara yang tadi menodongku segera menunggangi kudanya. Tak terkecuali aku, aku segera memanjat plana kuda lalu bergegas menuju bukit.
Kuda perang berbaris rapi di atas bukit. Aku datang kemudian merapikan barisan.
“Siap!” tegas kapten Robert dalam bahasa Belanda.
Semua anggota berdiri tegak dengan memegang senapan masing-masing.
Untuk perintah pertama kapten Robert memberikan pelatihan berlari menghindari tembakan.
Aku berlari berapa kali putaran. Keringatku semakin deras. Rasa lelah itu semakin terasa.
Dukkkk
Aku terjatuh lalu di tepi jurang. Aku segera meraih sebuah sisa potongan kayu di tepi jurang itu. Aku mendongakan kepala.
Tepat di sana, William berdiri di depanku. Tak lama topiku terjatuh. Rambut panjangku tergerai.
William segera mengangkat senapannya. Lalu mengacungkan senapannya tepat di depan wajahku. Keringatku bercucuran. Aku masih berusaha bertahan untuk tidak jatuh ke jurang, namun di sisi lain aku akan ditembak mati oleh orang di depanku.
Dor!
Aku menutup mataku. Tubuhku sangat lemas. Rasanya aku ingin melepaskan peganganku.
Grab!
Seseorang menggenggam tanganku. Dia Robert. Ia menatapku lama. Aku menatapnya tak percaya. Apakah ini nyata?
“Robert?”
Ia menarikku, lalu memelukku erat. Aku masih membelalakkan mataku. Aku melihat sekeliling. Seluruh pasukan telah tertembak. Termasuk William.
Aku masih mengatur nafasku, dan berusaha mencerna sesuatu.
“Wat is er gebeurd?” (Apa yang terjadi?) tanyaku.
“Ik ben de verrader.” (Aku pengkhianat)
“Waarom?”(kenapa?)
“Omdat ik verliefd werd op dit land” (Karena saya jatuh cinta dengan Negeri ini)
“Hoe kan dat nou?” (bagaimana mungkin?)
“Ik werd verliefd op een inheemse vrouw” (saya jatuh cinta dengan wanita pribumi)
“wie?” (siapa) tanyaku masih dengan nada lemah.
“U”
Air mataku menetes tak percaya.
“je weet dat ik een meisje ben?” (kamu tahu aku perempuan?)”
“Aku tahu,” jawabnya sambil mengangguk menggunakan bahasa Indonesia Belandanya.