Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sebagai seorang supervisor, tugasku adalah memastikan semua berjalan dengan baik. Sebenarnya, bukan tugasku untuk memastikan para staff ku bekerja dengan nyaman, bukan urusanku toh dengan pribadi mereka.
Untungnya, semua staff ku akur dan semua pekerjaan terlaksana dengan baik.
Tetapi, semuanya berubah ketika seorang staff mengundurkan diri.
Brian, keponakan manajer pemasaran masuk dalam tim ku. Ia sungguh sangat lemah dibandingkan anggota tim yang lain. Digertak saja ia sudah ciut.
Tampaknya pula, tim ku yang lain tak menyukainya. Tampak mereka menjauhi Brian. Selain aku, tidak ada yang mau mengajari Brian.
Setelah satu bulan bekerja, hasil kerja Brian masih berantakan.
Namun, aku tetap berusaha untuk mempersatukan mereka sebagai tim yang kuat.
Hari itu di sebuah warmindo, aku mengajak Brian mendiskusikan masalahnya. Namun Brian hanya diam, tak ada yang ia sampaikan, kecuali air mata yang keluar dari mata sayunya.
Setelah ku bujuk, akhirnya ia angkat bicara, “Pangkal masalah saya adalah Aldy, mbak. Aldy memaksa saya merokok dan minum minuman keras. Namun saya tidak mau,”
“Kalau Cuma Aldy saja yang tidak cocok denganmu, mengapa seolah kamu nggak bergairah kerja dan menjauhi semua anggota tim? Bukannya gimana-gimana, Bri. Kamu harus tetap profesional dengan pekerjaanmu. Fleksibelkan dirimu dengan anggota lain. Nanti Mbak akan ngomong sama Aldy,” Jawabku.
Brian hanya menggeleng pelan.
“Atau kamu memang tidak betah kerja disini?” Tanyaku.
Ia hanya menunduk. “Aku punya seorang ibu dan seorang adik perempuan untuk dinafkahi,”
Kami hanya berdiam-diaman sampai kekasihku, Gavin datang.
Pria itu menyalami Brian dan mengacak rambutku pelan. Ku undang Gavin ke tempat itu agar menjadi teman Brian sekaligus mentornya. Oh ya, Gavin memang seorang sous chef dan memiliki kepribadian sangat baik, jadi ia akan bisa menjadi teman sekaligus mentor Brian.
“Kalau kamu butuh apa-apa tetapi segan ngomong sama Raina, ngomong aja sama aku,” Gavin memberikan nomor teleponnya pada Brian.
Sejak hari itu Brian sudah mulai semangat untuk bekerja. Hasil kerjanya pun sudah mulai rapi. Semua anggota tim pun lebih menghormati Brian.
Tetapi, sikap Gavin yang selama ini manis padaku berubah menjadi semakin cuek. Ia sudah enggan menemuiku, bahkan melakukan panggilan video denganku saja dia tak mau.
Jika ku tanyakan alasannya, ia selalu marah dan beralasan capek. Capek dia bilang?
Capek atau memang ada yang lain?
Ku tanyakan pada Brian, apa yang terjadi dengan Gavin. Brian hanya menjawab, “Mungkin capek, Mbak. Semalam ia tidur di rumahku, jangan berpikir macam-macam,”
Namun feelingku berkata memang ada yang salah.
Ternyata benar ada yang salah. Dua hari setelah kutanyakan itu pada Brian, Gavin mengirimkan bunga dengan sticky notes, “Maaf, aku tak bisa jadi kekasihmu lagi. Tetapi aku akan selalu ada untukmu, Raina,”
Bahkan bicara langsung denganku saja enggan.
Sudahlah, aku mencoba bodo amat dengan Gavin. Meskipun hatiku sangat perih. Seharian ini, aku bekerja tanpa mempedulikan masalahku dengan Gavin. Tak pula aku menyinggung ini dengan Brian.
Tetapi, hal yang mengejutkan terjadi di café basement saat aku pulang kerja. Gavin tampak mencium Gina, adik Brian.
Kok bisa? Kalau sudah berani sejauh itu berarti dia dan Gina…
Pertanyaanku terjawab saat Brian datang menepuk pundakku, “Aku hanya ingin jadi best brother buat Gina. Apapun demi kebahagiaannya,”