Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku mungkin tidak akan pernah menikah. Kriteria calon menantu yang diinginkan Ibu sangat tidak masuk akal. Bagiku itu mustahil. Dan sayangnya Ibu tidak ingin berkompromi. Ibu hanya ingin menantu sempurna; bisu, buta, dan lumpuh.
“Ibu ingin surga. Surga untukmu, Ayah, Ibu, dan istrimu,” tegas Ibu.
“Tapi Bu, bagaimana cara menemukan gadis seperti itu?”
“Ibu tidak ingin tahu itu. Pokoknya, kau hanya boleh menikah dengan gadis yang bisa memenuhi persyaratan Ibu.”
Ibu berdiri dari kursinya. Tersenyum. Lalu, kembali ke kamarnya.
Ini bukan kali pertama Ibu membuatku pening. Sejak mengetahui aku mulai dekat dengan Cindy, seorang mahasiswi kedokteran di kampusku enam tahun lalu, Ibu sudah memaklumatkannya. Saat itu, aku langsung protes. Kupikir Ibu agak aneh. Bukan hanya calon dokter, Cindy juga cantik dan kaya raya.
Kalau Cindy menjadi istriku, aku yakin orang sekampung akan memuji keluarga kami. Bu Surti saja yang menantunya hanya seorang kasir mal di Jakarta sudah dielu-elukan. Setiap kali ada pesta perkawinan di kampung kami, Bu Surti pasti diarahkan duduk di jejeran kursi depan. Keluarganya dianggap sudah mengharumkan nama Kampung Kenangan karena sebelumnya menantu perempuan terbaik di kampung kami hanya tukang petik kopi.
Ayah yang kala itu sedang bersiap-siap berangkat ke masjid sudah mencoba membantuku meyakinkan Ibu. Namun, melihat Ibu cemberut, Ayah buru-buru mengambil sajadahnya kemudian menepuk pundakku, memintaku bersabar. Ayah ingin punya menantu dokter, tapi cintanya pada Ibu jauh lebih besar.
Setelah hari itu, setiap kali aku pulang kampung, pertanyaan Ibu selalu sama; apa kau sudah menemukan gadis yang sesuai keinginan Ibu? Jawabanku pun selalu sama. Menggeleng. Putus asa.
Tapi hari ini, Ibu bukan lagi sekadar bertanya. Ibu sudah memberi ultimatum. Katanya, sudah waktunya aku menikah. Ibu sudah menginginkan cucu. Kalau aku tidak sanggup menemukan gadis yang sesuai keinginannya, Ibu akan turun tangan. Ia sendiri yang akan mencari calon menantunya dan bulan depan kami menikah.
Cara Ibu tersenyum beberapa menit lalu meyakinkan aku kalau gadis itu sudah ia temukan. Aku memegangi kepalaku. Ini masalah besar. Aku telanjur mencintai Cindy setelah memenangi pertarungan dengan banyak pemuda kaya dan benar-benar ingin menikah dengannya.
Aku sedang memutar otak memikirkan cara meyakinkan Ibu ketika ponselku berdering. Telepon dari Cindy.
“Bagaimana?”
“Ibuku sepertinya tidak merestui hubungan kita dan aku harus menikah bulan depan.”
“Maksudmu?”
“Maafkan aku Cindy. Ibuku hanya mau menantu bisu, buta, dan lumpuh.”
Cindy tiba-tiba tertawa.
“Ada apa?” tanyaku keheranan. Aku khawatir Cindy mendadak gila karena hubungan kami harus berakhir tragis.
“Aku bersedia memenuhi seluruh persyaratan ibumu.”
“Jangan. Kau terlalu baik dan cantik untuk menderita.”
“Kau kenapa Beddu? Itu syarat mudah. Aku hanya perlu menjaga lisan, mata, dan tidak melangkahkan kaki ke tempat yang dimurkai Sang Khalik.”
“Jadi ibuku ....” ujarku tertahan. Saat aku menoleh, kulihat Ibu sudah berdiri di pintu kamarnya sembari mengusap wajah dengan kedua tangan.