Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku kuatkan kaki melangkah ke rumah Shifa. Tak masalah jika nanti dia akan menghadangku dengan amukan badai. Kekhawatiranku ini sangat beralasan, bayang-bayang amarah itu masih berdesak-desakan di pikiranku dari tadi malam. Tidak seharusnya dia membuka surat itu, tapi gara-gara Ratih akhirnya semua kedokku terbongkar. Sedikit pun tak ada niatku untuk membuat mata beningnya itu seketika meletupkan bara api. Aku harus menjelaskan apa adanya.
“Aku minta maaf.” Aku memberanikan diri setelah beberapa menit mematung di belakang punggungnya. Memperhatikan pundak perempuan itu naik turun sejak tadi, serta sesekali kepalanya mendongak menatap langit, seolah tengah mengadu pada Tuhan. Itu kebiasannya sejak dulu. Setiap sedih dan gundah datang, dia akan duduk di belakang teras rumahnya, melepas tangis, lalu mengadu pada langit. Seolah Tuhan hanya ada di langit belakang rumahnya.
“Aku minta maaf.” Kali ini suaraku terdengar lebih jelas dari sebelumnya. Namun, perempuan itu masih tak acuh.
“Surat yang diperlihatkan Ratih itu benar. Ratih memang istri sahku. Aku minta maaf, Sayang.” Gila, aku masih berani memanggilnya sayang dalam situasi seperti ini. Ya, aku memang sudah segila itu sejak memutuskan mencintainya.
Kali ini perempuan itu menoleh, dia menatapku sinis. Ini lebih menyeramkan daripada kemarin saat dia mengamuk sambil marah-marah di depan rumahku. Sekilas mata kami bertemu. Hatiku perih mendapati sepasang bola mata merah itu.
“Aku memang sudah menikah, tapi apa salah jika seseorang yang sudah menikah jatuh cinta lagi?”
Hening. Hanya suara dedaunan saling bergesekan yang menyelinap sebagai latar. Aku melihat kedua sisi bahu Shifa menaik.
“Kamu yang bilang kalau jatuh cinta itu seperti jatuh dari sepeda, tidak sengaja,” ucapku menambahkan.
Shifa bangkit dari posisi duduknya, membuat jantungku berhenti sejenak. Napasku tercekat begitu dia melangkah mendekat. Sepasang bola mata merah itu kembali menatapku. Bibir Shifa menyungging tak simetris. Sungguh, aku lebih suka adegan marah-marah, pertengkaran hebat, ditampar atau apa pun tentang perkelahian yang tidak begini. Dingin.
“Kamu benar, jatuh cinta itu seperti jatuh dari sepeda.” Dia mengambil jeda, lalu memberi penekanan pada kata selanjutnya, “Sakit.”
Aku menelan liur. Shifa melangkah masuk melalui pintu belakang rumahnya. Entah mengapa, kakiku kaku, tidak mampu mengejar. Namun, sebelum dia menutup pintu, dia berbalik, kembali menoleh padaku dan mengatakan, “Kamu tahu, Ken? Aku ingin sekali memakimu seperti kemarin. Aku ingin sekali memukulmu bahkan membunuhmu.”
Shifa menangis. Dia mulai menangis! Kedua tanganku terasa mengepal. Aku ingin membalas dengan kalimat perintah agar dia melakukan apa yang ingin dia lakukan, tetapi dia lebih dulu berkata, “Tapi aku nggak bisa, Ken! Aku nggak bisa! Aku benci diriku yang mencintai suami orang. Aku benci diriku yang telah merebut ayah dari calon bayi dalam kandungan Ratih. Aku benci diriku, Ken!”
Shifa menangis. Kali ini bahkan tubuhnya terduduk. Dia mulai meratap. Jika pertengkaran ini adalah sebuah lagu, maka ini adalah bagian refrain.
“Memang tidak ada yang salah dengan jatuh cinta. Tapi, tidak seharusnya kamu memulai kebenaran dengan kebohongan, Ken.” Suaranya semakin serak dimakan tangis. Tubuhku masih mematung. Adegan kami belum usai, tetapi suara seseorang datang memotong.
“Di sini kamu rupanya, Sayang.”
Itu Ratih.