Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Nama adalah doa, sebab itu, aku dan Fais memberi nama putra pertama kami Kaliandra Shankara, artinya anak periang yang membawa keberuntungan dan kebahagiaan.
Benar saja, Kara memang membawa keberuntungan dan kebahagiaan! Di usia 1-3 bulan, yang kata orang aku akan dibuat repot dengan tangisan, nyatanya tidak terjadi. Kara tidak banyak menangis, bahkan dia bisa anteng saja saat kutinggalkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah, pun di malam hari, aku bisa tidur nyenyak.
Namun, seiring usia Kara bertambah, tidak hanya perkara tangisan yang berbeda dengan anak lainnya. Ketika anak-anak seusianya sudah mampu mengeluarkan suara seperti, ‘Ma … mama’, Kara belum mampu memproduksi suara apa pun.
Kara juga semakin sulit diajak berkomunikasi, kontak matanya negatif. Dia cenderung sibuk dengan dunianya sendiri. Dia gemar sekali memainkan roda mobil mainan dan menyejajarkan benda-benda.
Akhirnya, kami membawa Kara ke dokter anak, lalu mendapat rujukan ke dokter tumbuh kembang. Kara melakukan serangkaian tes. Banyak hal yang Kara tidak bisa, bahkan sesederhana melihat ke arah tunjuk sang dokter pun Kara tidak mampu.
“Anak Ibu dan Bapak positif mengidap Autis Spectrum Disorder. Kelainan ini tidak bisa disembuhkan, tetapi dengan serangkaian terapi kemampuan Kara bisa kita maksimalkan.”
Duniaku terasa berhenti mendengar keterangan dokter itu. Aku tidak paham autis itu apa, tetapi kata-kata kalau anakku tidak bisa disembuhkan adalah kenyataan yang tidak mampu aku terima.
Denial, aku memaksa Fais untuk membawa Kara ke dokter lain, berharap hasilnya akan berbeda. Namun, setelah banyak dokter kami temui, hasilnya tetap sama. Anakku autis dan autis tidak bisa disembuhkan.
Kami akhirnya melakukan serangkaian terapi berdasarkan arahan dokter. Namun, setahun setelah diterapi, Kara tidak ada kemajuan. Aku bertanya pada dokter mengenai kapan anakku bisa bicara, lalu dokter berkata, “Tingkat Autisnya Kara ini parah, Bu. Kemungkinan ngga akan bisa bicara, tapi kita bisa latih komunikasi dengan kartu.”
Anakku autis. Parah. Tidak bisa sembuh. Tidak bisa bicara. Tubuhku menggigil tiap kenyataan itu melintas di pikiran. Aku harus apa?
Pada 2 April 2018, sebuah iklan muncul di beranda facebookku, iklan acara peringatan hari autis dengan tag line Autism is curable, InshaAllah. Bola mataku membesar, autis bisa sembuh? Benarkah?
Aku dan Fais mengikuti acara tersebut. Dalam ruangan yang memuat 200 orang tersebut, aku menemukan cahaya. Bersama mereka yang percaya, bahwa semua penyakit ada obatnya, bahwa Allah Maha Kuasa dan bisa menyembuhkan apa saja, termasuk autis. Tidak hanya cahaya, tetapi di sana aku menemukan bukti nyata, banyak autisi yang telah sembuh, mereka sekolah dan berkomunikasi seperti anak normal lainnya.
“Tidak ada yang mencintai anak kita seperti kita, orangtuanya, jadi kitalah yang harus berusaha, berjuang demi mencapai kesembuhan anak kita, agar kelak dia bisa menghadapi dunia dengan kesembuhan. Autism is curable, InshaAllah.” Kata pembuka salah seorang dokter di acara tersebut melekat kuat dalam benakku.
Kami kemudian membuat janji temu dengan sang dokter. Ikhtiar untuk menggapai kesembuhan mulai dilakukan. Kara menjalani diet dan terapi.
Hingga, pada suatu hari, ketika keluar dari ruang sesi terapi, Kara berlari ke arahku, sambil tersenyum dia mengatakan, “Ma-ma.”
Air mataku tumpah. Anakku, yang mereka bilang tidak bisa sembuh, yang mereka bilang tidak mungkin bisa bicara, kini memanggilku, “Mama.”