Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Halo Nin..” itu suara Andy. Suara yang sangat aku kenal.
“Halo, Andy?”
“Gimana kabarmu sekarang?” tanyanya kemudian.
“Baik. Kamu sendiri?”
“Baik juga. Tapi buruk karena nggak ada kamu disini.”
Aku jadi merasa bersalah dan tertawa pasrah. “Biasanya ada orang yang selalu cerewet kan.”
“Ya, dan nggak ada korban keusilanku lagi.”
Aku menghabiskan waktu lebih lama dari biasanya untuk menelpon Andy kali ini. Hanya membahas hal-hal yang biasa kita lakukan berdua. Ah, mengapa manusia tak pernah jujur pada hati mereka ketika rindu sedang melanda.
Aku kembali mengingat tiap kisah yang pernah terjadi. Kebersamaan yang dulu biasa saja, menjadi sangat canggung sekarang. Bahkan jarak sangat nakal mempermainkan kita karena tahu akan ada jeda dalam tiap pertemuan nanti. Aku mengerjap, menyadari waktu yang terus berlalu.
Sedetik, semenit, sehari dan setahun. Kita terpisah selama itu. Dan hari ini memasuki tahun kedua, jarak masih setia menemani. Menetap pada ketidakpastian tentang waktu....yang tak lagi mempertemukan kita.
Bukan karena tak ada lagi kita, tapi karena ada seseorang yang kini bersamanya. Sedangkan aku masih memilih untuk menyendiri. Sepertinya semua itu menjadi perpaduan yang tak menguntungkan bagi hatiku. Jarak dan ‘dia’ yang lain. Walaupun memang tidak pernah ada kita yang lebih dari sahabat. Hanya saja kita—atau mungkin hanya aku yang merasakannya—terikat satu sama lain dan tak jujur pada diri sendiri. Ah, apa ini juga sebatas pemikiranku saja? Atau kita hanya merasa nyaman berada di zona itu.
Aku menghela napas berat. Sedikit menyadarkan diri bahwa kita hanya sahabat..dan tak lebih dari itu. Aku setuju dengan pepatah yang mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan takkan pernah bisa bersahabat. Tak kan pernah.
Memang, dulu aku tak pernah menjadi yang nomor satu—setidaknya dalam tiap sapaannya—aku selalu terapalkan dengan irama yang indah. Aku selalu jadi tempatnya berkeluh kesah. Sekarang? Jangankan bertegur sapa lewat telpon, yang dia tanyakan hanya pertanyaan sama yang menurutku hanya basa-basi semata. “Kapan pulang?” Aku berharap kalimatnya berakhir dengan, “cepat kembali dan jangan pergi lagi. Aku mohon.”
Hanya sebuah kalimat yang ingin aku dengar yang pada kenyataannya tidak sesuai dengan harapanku. Namun, yang namanya harapan ya memang tinggal harapan. Aku tak pernah berharap lebih dari itu. Entahlah, sebenarnya apa yang aku rasakan terhadapnya sungguh rumit.
Aku menatap foto di atas meja. Potret tiga orang manusia yang sedang tertawa bersama. Aku, dia, dan gadis pujaannya. Lalu semua kenangan kembali menyeruak. Andai saja, aku memberanikan diri untuk mengungkapkan semua perasaanku. Mungkin akhirnya tak akan seperti ini. Aku tahu, aku tak harus memulai apapun.
Sebagian diriku menenangkan, mereka belum benar-benar mengikrarkan sebuah janji. Masih ada kesempatan untuk berada di posisi gadis itu. Tapi pikiran realistisku mengambil alih, bagaimana kalau saja aku berhasil. Apakah yang aku rasakan akan sama padanya. Dalam bentuk apapun itu, rasa suka dan sedih akan berlalu seiring berjalannya waktu.
Dan kini aku hampir kehabisan waktu....untuk menjadi yang paling jujur pada diri sendiri. Tentang perasaan ini. Serta waktuku untuk mengenang semuanya kini telah usai. Waktu memang tak pernah salah, karena yang berubah darinya adalah ‘kita’.