Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kau bilang sangat menyukai laut. Kau memang tidak mengatakannya langsung kepadaku sebagaimana juga hal-hal lainnya. Namun, dari balik dinding kamar aku pernah mendengar kau bicara tentang itu; tentang keinginanmu berdiri di depan laut dan kau menyaksikan ikan-ikan berlompatan.
Aku berbaik hati mengabulkan keinginanmu. Diam-diam, aku memasukkan obat tidur dalam makananmu. Obat itu bekerja dengan sangat baik, kau yang biasanya akan banyak berceloteh sepanjang siang, justru tertidur. Tentu saja, dengan tenagaku sebagai laki-laki dewasa, mudah saja bagiku untuk mengangkat tubuh perempuan renta sepertimu. Mendudukkanmu di jok belakang. Kau tidur pulas sekali seperti bayi.
Kita sudah sampai. Namun, obat tidur rupanya membuat kau terlelap lebih lama dari yang aku duga. Aku memperhatikan wajahmu. Rasanya sudah lama sekali aku tidak memandangi kau yang begitu tenang seperti saat ini. Bahkan aku tidak sadar, sudah banyak saja garis-garis penuaan memenuhi wajahmu. Tak tega membangunkanmu, aku memilih turun lebih dulu.
Siang itu pinggiran laut sepi sekali. Mungkin karena hari kerja, atau karena matahari siang ini memang ganas sekali. Panasnya sudah seperti neraka saja. Ah, perumpamaanku ekstrim sekali, bahkan aku belum pernah berwisata ke neraka. Meski berulangkali kau selalu menyumpah agar aku lekas dikirim Tuhan ke neraka.
Benar saja kataku, di pinggir lautan tak ada ikan-ikan berlompatan. Ah, ini tidak asik. Jika begini kejutanku akan sia-sia. Kau pasti akan marah lagi padaku dan menyumpah soal neraka. Aku berpikir sejenak. Belum selesai aku berpikir, rupanya kau sudah bangun.
“Hans! Apa yang kau lakukan padaku? Mengapa aku bisa berada di sini?” Wajahmu panik. Aku bisa melihat api berkobar di sepasang bola matamu. Langkahmu kian lebar untuk menepis jarak di antara kita.
Aku terkekeh melihat tingkahmu, lalu, sebelum kau benar-benar sampai di sampingku, aku membalikkan badan, menghadap lautan, mengembangkan tangan dan berteriak, “Kejutan!”
Aku kembali menoleh, kau tepat berada di sampingku, ketika itu, aku sudah menemukan cara agar kau bisa mewujudkan keinginanmu.
“Hans! Jangan gila!” Kau berteriak kuat sekali, tetapi itu percuma saja. Angin laut membawa semua suaramu. Lagi pula, tidak ada orang di sini. Aku tahu, kau marah dan benci padaku sejak suami barumu kubuat pergi ke neraka. Namun, sebagai ibu yang melahirkanku, tidak seharusnya kau memusuhiku lama-lama.
Karena aku tahu egomu sangat tinggi. Jadi aku akan mengalah. Oleh sebab itu aku membawamu kemari, memberikanmu kejutan. Agar kau bahagia. Agar kau mau memafkan salahku dan tidak lagi memusuhiku.
“Hans! Kau benar-benar gila! Seharusnya Tuhan sudah mengirimmu ke neraka! Seharusnya aku tidak membiarkanmu ada di rumah! Hans, hentikan!” Kau marah-marah, memukul-mukul pundakku, mencoba memberontak. Ah, tapi percuma saja. Tubuhmu yang cungkring itu tetap saja tidak akan bisa mengalahkanku.
“Ibu, ini kejutan. Kau tidak perlu takut, ombak akan membawamu pada ikan-ikan yang berlompatan, mungkin juga pada Demian, suamimu yang sudah lebih dulu bertemu ikan-ikan.” Aku berbisik pelan, terkekeh geli. Langkahku kian pasti menuju lautan, kakiku sudah basah hingga betis, begitu ombak datang, tubuh seringan kapas milikmu kulempar kuat-kuat. Kau menjerit, aku tertawa besar-besar.