Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hari ini Amira diterima kerja sebagai perawat di rumah sakit Halim Sejahtera. Amira berlari karena waktu menunjukkan pukul delapan tepat. “Astaga, jangan sampai terlambat!” Amira memasuki ruangan dan mengenalkan diri ke beberapa perawat lainnya.
“Senang bertemu denganmu, Amira.” Gadis itu tersenyum dan mengambil jarum suntik serta stetoskop. Amira menuju ruang ICU, membuka pintu dengan pelan dan melihat seorang dokter berdiri menatap wanita yang berbaring. Dokter itu membalikkan badan.
“Amira?” Gadis itu tersentak mendengar namanya dipanggil cukup keras. Amira membelalakkan mata, sedikit terkejut namun sesegera mungkin ia tak menatap dokter tersebut. Amira meletakkan peralatan medis di meja kecil lantas menatap nametag yang terpasang di jas putih milik Dokter. Nama Fantri Krisnanda terpampang disana. Ya, benar. Amira tidak salah liat, ia memutuskan keluar.
“Amira Cahaya Khanza.” Fantri memanggilnya. Amira menghentikan langkah.
…
Tujuh tahun silam, Amira memasuki sekolah menengah atas. Kakak kelas yang sekaligus menjadi cinta pertamanya adalah Fantri Krisnanda. Ia seorang senior yang sangat cuek saat melatih Amira menjadi anggota osis. Hingga suatu hari Amira dan Fantri berpacaran beberapa bulan. Amira senang saat melihat Fantri menjadi atlet lari di sekolah. Gadis itu selalu menunggu dan menyaksikan pacarnya di tengah-tengah gerombolan siswa lain. Bahkan saat Amira berteriak memanggil nama Fantri 1% suaranya terlihat sangat rendah.
“Fantri! Fantri! Fantri!” Banyak sekali yang meneriaki nama lelakinya saat itu. Amira memasuki kelas dan membiarkan Fantri dalam kemenangan. Saat bel pulang sekolah berbunyi, Amira menahannya.
“Tahun ini aku akan pindah sekolah," ucap Amira. Fantri menatapnya seakan tak ingin Amira pergi, tapi jawabnya membuat gadis itu kaget.
“Aku harap kamu bahagia di sekolah baru,” ujarnya. Amira menunduk, seketika melambaikan tangan. Amira tidak sedih dengan perpisahan ini, karena perpisahan terberat yaitu melihat kedua orangtuanya bercerai. Hal itulah yang membuatnya harus pindah.
…
Amira pergi ke rumah Fantri, tapi mamanya berkata ia menjenguk seseorang di rumah sakit. Amira bergegas pergi dengan petunjuk tersebut.
Sesampainya, Amira mencari nama ruangan yang dimaksud oleh Mama Fantri, pelan-pelan ia berjalan dan mengintip satu kamar yang tidak tertutup rapat.
“Aku tidak papa, sebulan lagi aku sembuh. Doakan saja aku bisa cepat keluar dari sini," ucap Dini. Gadis itu terlihat lemah di atas kasur. Fantri berada di sisi Dini.
Amira melihat keromantisan keduanya, ia menggenggam erat gagang pintu, menitikkan air mata. Amira menutup pintu dan memutuskan pulang. Suara pintunya membuat Fantri menoleh.
“Amira!” Fantri sedikit berteriak dan keluar dari ruangan mengejar Amira. Fantri menghentikan langkah Amira.
“Jadi, benar bahwa aku pengganti pacarmu yang sekarang sedang sakit?” Amira melepas genggaman tangannya. Fantri merasa bingung.
“Ega mengatakan kalau selama ini kamu melampiaskan perasaan yang sebenarnya ada disini dan menjadikanku pacar sementara?” Amarahnya tak tertahan lagi.
“Kamu salah paham, Mir.” Fantri berusaha menggapai tangan Amira, tapi ditepisnya berkali-kali. Amira pergi dan meninggalkan Fantri tanpa pesan.
…
“Mir. Gadis yang kamu lihat di rumah sakit adalah Kakakku, kenapa kamu tidak mendengar penjelasanku sebentar saja?” ucap Fantri. Amira menatapnya.
“Tapi Ega mengatakan hal yang demikian.”
“Karena Ega menyukaimu, dia ingin aku menjauh darimu.”
“Kenapa kamu tidak mencariku?” tanyaku ingin tau.
“Karena takdir akan mempertemukan kita kembali.”