Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Kenapa? Apa kau akan melepaskannya? Aku tahu kau menikah bukan atas keinginanmu, apalagi adanya cinta. Namun, apa kau tega untuk membunuh darah dagingmu sendiri?"
Pertanyaan dari Sandra sahabatnya membuat Zeanna menunduk. Memang benar ia dan suaminya menikah bukan karena cinta. Pun kehadiran sosok yang bahkan belum terbentuk sempurna dalam perutnya bukan karena mereka menginginkanya, melainkan karena kecerobohan dan kebodohan yang mereka lakukan.
Yang dikatakan Sandra benar, apa ia tega untuk membunuh sosok yang tidak berdosa ini? Ia rasa tidak. Ia tidak akan sanggup melakukannya. Ia tidak akan bisa menambah daftar dosanya lagi. Namun, terlepas dari itu semua, bukan ini yang menjadi pikirannya saat ini, melainkan karirnya. Bagaimana dengan karir modeling yang telah dirintisnya bertahun-tahun? Baru beberapa hari yang lalu, ia ditawari untuk menjadi salah satu model dari produk ternama di luar negeri. Salah satu impiannya akan segera terkabul. Namun, dengan keadaannya yang sekarang, bagaimana ia bisa meraih mimpinya itu?
"Tapi ..."
Seakan mengetahui yang menjadi kegelisahan sahabatnya, Sandra lebih dulu menyela sanggahan yang hendak Zeanna katakan. "Tanpa kau memilih kesempatan yang datang kali ini, aku yakin kau akan bersinar dalam karirmu. Aku yakin suatu hari nanti kau akan jauh lebih bersinar dari hari ini. Seluruh dunia akan akan mengenal, mengaggumi, bahkan memujamu. Tetapi jika kau melepaskan anugerah dan amanat yang Tuhan berikan padamu, apa kau yakin Tuhan akan memberimu kesempatan sekali lagi padamu?"
Setetes air mata Zeanna mengalir jatuh di pipinya. Merasa tertohok dengan perkataan Sandra yang menyadarkannya atas kesalahan, yang mungkin akan diperbuatnya jika mengambil pilihan keliru.
"Tuhan sempurna, Na! Selalu memberikan yang terbaik untuk hidup kita. Jangan sia-siakan hingga kau menyesal nantinya."
Mendengarnya, air mata Zeanna semakin deras mengalir. Rasa bersalah semakin menyesakkan dadanya. Tangan kirinya tanpa sadar membelai perutnya yang masih rata. Bergumam pada sang calon bayi seakan dia bisa mendengarnya. "Maafkan ibu! Maafkan ibu, Nak!"
"Tuhan, tolong maafkan aku. Maaf karena sempat menolak kehadirannya. Maaf karena aku sempat menolak anugerah yang Engkau berikan. Tolong maafkan aku dan terima kasih atas segala yang Engkau anugerahkan padaku. Terima kasih, Tuhan," lirih Zeanna sambil mengadahkan wajahnya. Berharap Tuhan mau memaafkannya.
Sandra yang mendengar gumaman lirih Zeanna tersenyum lega. Akhirnya Zeanna bisa menerima keadaannya yang sekarang dan sadar akan kesalahan yang mungkin dilakukannya jika memilih pilihan yang salah. Ya! Tuhan memang memiliki caranya sendiri untuk menyadarkan umatnya, seperti yang terjadi pada Zeanna.
***