Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sore ini hujan turun, akan tetapi sinar mentari masih memancar. Aku ingat, ketika ada hujan yang terpancar sinar matahari maka pelangi akan terurai. Bayanganku kembali pada masa remajaku dimana dulu aku menjadi Nawang Wulan, bermain drama bersama teman-temanku.
Semua kenangan berlalu. Bayangan itu kembali terlintas di sudut mataku. Saat kami akan menuju ke lokasi pementasan, jalanan terjal dengan hujan deras yang terus menerpa. Bus berjalan cukup hati-hati melintasi tiap tikungan mendaki. Kami tertawa riang bersama, bahkan sesekali mengikuti alunan lagu yang diputar oleh supir bis saat itu. Namun tiba-tiba saat kumenatap lurus ke depan, ada seberkas cahaya menusuk pandangan mataku.
Brak!!!
Seluruh darah mereka menetes membasahi tubuhku. Saat itu, aku hanya merasakan air mata yang menetes membasahi pipiku. Ingin rasanya aku buta saja daripada harus melihat mereka dengan keadaan tragis di depanku.
“Aku mohon selamatkan mereka. Aku mohon.” Kataku berulang ketika seorang mengangkatku.
Perlahan ia meletakkanku di brankar. Sebuah jarum suntik menusuk tanganku dengan selang infus yang dipasangkan di tanganku. Ia tersenyum melihatku. Kutarik terus tangaannya.
“Jangan selamatkan aku, jika mereka tidak selamat. Aku mohon Dokter!”
Perlahan ku tutup mataku. Aku terlelap lama dan tenang.
***
“Di mana mereka?” tanyaku cemas setelah terbangun.
“Wulan kamu tidak apa-apa?” tanya ibu panik.
“Aku tunggu jawaban ibu. Di mana mereka? Bagaimana keadaannya?” tanyaku mendesak.
Ia hanya terdiam.
Aku melihat ke arah pintu. Terlihat sebuah brangkar yang didorong oleh orang tua Reno.
Aku mengkhawatirkannya. Kucabut selang oksigen dan selang infusku. Kuberlari mengejarnya. Tak kuasa kaki ini menopang tubuh, aku tergeletak lemas. Ibu mengejar dan membangunkanku.
“Reno!” teriakku menggema di lorong rumah sakit.
Ibunya Reno melihat ke arahku. Ia berlari lalu memelukku erat.
“Reno... masih hidupkan?” tanyaku.
Ia hanya menggelengkan kepala. Aku semakin tak kuasa menahan tangis.
Aku memandang semua foto kenangan di setiap pementasan yang pernah aku perankan bersama Reno.
Aku berlari menuju sungai. Hujan deras mengguyur tubuhku. Aku duduk di atas bebatuan. Kulihat langit, kunikmati setiap hujan yang menerpa di wajahku.
Aku menanti pelangi, aku harap temanku datang bersama pelangi itu bersama Reno yang lebih memilih 6 bidadari di Surga daripada bersamaku di bumi.
Hujan mulai reda. Aku mendongak ke langit, namun tak ada pelangi yang tergambar.
Apa sudah tidak ada lagi pelangi di kota ini? Apa sudah tidak ada bidadari lagi yang mau turun ke bumi?
Harapanku sirna bersama senja yang kian merona. Aku berdiri dari batuan itu, rasanya berat untuk meeninggalkan tempat ini. Kudongakan kembali wajahku.
Kulihat langit bersama jingga senja. Terukir sebuah pelangi.
“Wulan”
Aku membalikan badan dan terkejut. Mereka datang.
“Reno,” teriakku kemudian berlari dan memeluknya, “aku sangat merindukan kalian kenapa kalian tinggalkan aku sendiri?”
“Kamu tidak pernah sendiri.” kata Reno seraya mencium keningku.
Pelahan bayangannya pergi bersama senja yang telah melenyapkan pelangi.
“Reno!”
Aku terjatuh di hamparan pasir sungai. Sekali lagi aku melihat ke langit semua terlihat gelap.
Seseorang menepuk pundakku dan menundaku untuk berdiri. Kumemeluknya erat.
“Aku bukan senja yang akan menghapus pelangimu. Tapi izinkan aku jadi langit yang selalu kamu lihat di saat hujan turun,” kata Adam, dokter muda itu seraya membelai pippiku.