Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ribuan kata melayang memenuhi udara di dalam Bar. Ada yang jelas, lugas, ada yang sayup, seperti bisikan.
Bising. Semuanya tak mau kalah. Yang satu bicara, yang lain mendengarkan. Mereka berpindah peran silih berganti.
Seandainya aku bisa meredam kebisingan. Seandainya aku bisa hidup dalam kesunyian. Seandainya aku bisa memilih apa yang hendak aku dengar, dan apa yang tidak. Tak perlu bicara, tak perlu mendengarkan, tak perlu dipahami, tak juga memahami.
Semua itu mustahil, kata seseorang, itu melawan sifat alami manusia, katanya.
Orang itu pernah bilang kepadaku, tak ada yang tak ingin dipahami di dunia ini. Semua ingin didengarkan. Burung-burung yang berkicau di pagi hari, anjing menyalak, kucing mengeong, ibuku dulu mengomel hampir tiap pagi, dan begitulah caranya berkomunikasi (sekarang peran itu digantikan istriku).
Bukankah di zaman sekarang hantu pun ingin didengarkan? Sering aku melihat di acara mistis tengah malam, hantu mencurahkan isi hati, ingin agar manusia memahami mereka. Ada juga manusia yang percaya bahwa tanah yang subur atau justru bencana adalah cara alam berkomunikasi dengan manusia.
Semua ingin dipahami. Semua ingin didengarkan. Kukira, sudah waktunya aku mengikuti arus, membiarkan dorongan alam bekerja dalam diriku. Aku juga ingin mencurahkan hatiku, tapi kepada siapa?
Tiada teman, tiada rekan, aku juga sudah lama jauh dari Tuhan. Pernah beberapa kali aku mencurahkan isi hati kepada pohon bunga kamboja di pinggir jalan (hanya saat sekeliling sedang sepi, bagaimanapun aku enggan disangka gila).
Sampai aku tahu ada tempat bernama Bar. Sebuah tempat paduan suara. Dan akan selalu ada telinga yang siap mendengarkan, sengaja maupun tidak.
Satu gelas. Dua gelas, kuteguk. Pendorong agar aku percaya diri. Perempuan itu bisu, tapi tidak tuli. Dia yang membuatkan minuman. Kuperhatikan, pengunjung yang lain kerap mengabaikannya, aku hampir tak pernah melihat ada seseorang mencurahkan isi hati atau uneg-uneg di depan dia, mungkin sebab tak ada respons.
Namun aku bukannya butuh respons, aku cuma butuh pengganti tanaman kamboja. Aku cuma mau ada yang mendengarkan segala keluh kesah yang puluhan tahun nyangkut di kepala. Tiga hari berturut-turut, setiap malam aku mampir, duduk di hadapannya, bercerita dari A sampai Z. Awalnya rapi, lama-kelamaan acak, suka-suka saja alur dan temponya.
Meskipun ada bagian yang agaknya tak seharusnya kukatakan, aku cuek saja, toh kami tak saling kenal. Mulutnya terus mengatup, hanya alisnya yang bereaksi, raut wajahnya, senyum atau murungnya, anggukannya. Itu-itu saja.
Hampir sebulan lamanya aku absen. Aku kembali lagi setelah beberapa lama. Perempuan bisu itu masih ada di sana. Aku bercerita tentang perceraianku dengan mantan istri beberapa waktu lalu. Seingatku, aku menangis. Sedikit. Tangannya cuma menepuk-nepuk lenganku. Sebentar.
Besoknya aku kembali lagi, aku ceritakan apa yang terjadi di kantor siang tadi. Wajahku sedih saat aku katakan ada pohon kamboja yang ditebang sore tadi.
"Ceritakan yang lain, cerita itu sudah kamu ceritakan kemarin."
Gelas kosong di tangan jatuh dari genggaman. Malam itu aku tahu, dia tidak bisu.
"Maaf kemarin-kemarin aku berbohong. Ini pun aku terpaksa ngomong. Aku cuma mau kamu paham, kalau aku sudah bosan dengar cerita yang sama berulang-ulang. Ada cerita yang lain?"