Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Sudahi mimpimu itu, Rahmi. Ingat, usiamu makin bertambah!"
"Tidak, Bu! Aku hanya bersabar."
"Sampai kapan?"
Tiga tahun terakhir, sudah tiga kali Bapak menerima tamu laki-laki yang akan melamarku. Tiga kali pula kutolak semua. Bukan aku pemilih, bukan pula tak ada yang cocok. Tapi aku sudah punya pilihan hati. Jauh sebelum mereka datang meminang. Dia adalah lelaki yang sering bertemu dalam mimpi.
Boleh percaya atau tidak dengan mimipiku. Bukan sekali dua kali, tetapi sering terjadi. Mimpi itu dimulai saat aku beranjak balig. Masih di usia belasan tak lama setelah mendapat haid pertama. Aku bermimpi didatangi seorang lelaki berperawakan tegap namun tak terlalu tinggi. Mukanya bersinar dengan kulit cerah ditumbuhi jambang tipis, penuh karisma. Berbalut busana putih-putih dengan kain sorban melilit leher dan peci putih di kepala. Tak pernah ada kata atau tanya, hanya menatap disertai senyuman.
Hingga aku benar-benar jatuh cinta. Hingga aku dikatakan tak waras, gila, sinting dan bodoh.
"Gusti Allah, segeralah datangkan ia ke hadapanku. Tunjukkan kuasa-Mu. Aku sudah cukup bersabar menunggunya keluar dari mimpi-mimpi itu."
Dia datang! Akhirnya dia datang juga. Aku membukakan pintu dengan tertegun. Dia pun sama tertegunnya kala melihatku. Aku terkesima. Namun, ada yang menyakitkan hatiku. Saat itu ketakjubanku berubah menjadi kekecewaan. Jantungku terasa mau lepas dan aliran darahku terhenti. Pasalnya, dia datang bersama seorang perempuan dan dua anak masih kecil. Mereka ingin bertemu ayahku.
Dengan hati hancur seolah kehilangan sesuatu yang dimiliki, aku mengadu pada ibu.
"Bu, seandainya ia memang jodohku, tak apa aku dijadikan istri keduanya."
Setelah menyiapkan minuman dan makanan alakadarnya, aku pun masuk dan berdiam di balik pintu ruang tamu. Di tempat itu sangat jelas untuk mendengar percakapan di ruang tamu.
"Jadi begini Pak, saya datang ke sini bersama istri untuk sekadar mencari informasi tentang seorang janda beranak dua yang ditinggal mati suaminya. Rumahnya tak jauh dengan lokasi pesantren yang akan kita bangun."
"Maksud Nak Ustaz, Wardah?" tanya Bapakku bernada kaget.
"Betul! Dengan izin istri, saya bermaksud menikahinya. Dan kalau Bapak percaya, Tuhan sudah memberi petunjuknya lewat mimpi-mimpi. Makanya saya berinisiatif mencarinya dan kebetulan juga sedang mencari tempat untuk pesantren. Alhamdulillah, petunjuk itu sudah terwujud nyata di depan mata. Dan kami ingin Bapak sebagai Tetua di kampung ini, menjadi saksinya."
Seketika aku terhenyak. Seandainya bisa, ingin berteriak dan protes kepada Tuhan. Kenapa Kau tak adil membiar aku lama menunggu dalam ketidakpastian? Kenapa Kau memberi alamat yang salah dalam mimpi-mimpi itu?