Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dua tiga kolak candil, bukan aku tak sayang ponakan centil.
Hanya saja kuingin menyentil, lalu kuberi upil.
Namanya Yosie, satu-satunya keponakanku, gadis kecil berusia empat tahun. Bawel dan centil bukan main, selain itu dia seperti setan kecil, penuh dengan strategi dan kelicikan. Aku tahu kakakku memang punya banyak dosa, hanya saja yang kusesali adalah kenyataan aku juga harus ikut terkena karma menghadapi si kecil upil ini.
Duelku dengan Yosie bermula ketika di suatu malam minggu dia mengklaim kekasihku, Ferry, sebagai pacarnya.
Bayangkan, masih kecil saja sudah pacar-pacaran, nanti besar mau jadi apa coba? yang pasti sebelum berhasil pacaran, akan kulibas dan kugilas semua calon pacarnya.
Di awal Yosie mengklaim Ferry, aku masih tertawa-tawa melihat tingkahnya, ‘Ahaha, anak kecil pacar-pacaran, dikira pacar itu onde-onde kali ya!' pikiranku masih positif menanggapi kelakuannya, sampai Ferry melontarkan sebuah pertanyaan.
“Yosie, Yosie suka apa? kemarin ngapain aja? cerita dong sama Om!” kalau aku adalah pembawa acara kuis, aku akan berkata, ‘toteeett! pertanyaan yang salah!’
Benar saja, begitu mendapatkan pertanyaan yang tepat sasaran, wajah si troll kecil langsung sumringah. Di detik Yosie membuka mulut, aku menyesali keputusan tidak menyanyikan lagu pengantar tidur, sehingga ia masih terjaga ketika Ferry datang.
“Jadi begini Om, aku tuh suka main balbie, balbieku ada banyak, namanya Mali, Ucil, Pekol, Sos, Sis. Balbieku juga ada yang cowo, aku punya rumah balbie, dibeliin mama papa besaaaal banget, telus-telus...” Perbincangan itu berlangsung selama satu jam yang penuh dengan cerita barbie, sedangkan aku harus mendengar, menanggapi, kemudian pura-pura tertawa. Sialnya, Ferry semakin semangat untuk menanyakan berbagai pertanyaan pada Yosie, tentunya semakin menambah gairah Yosie untuk bercerita. Aku hanya bisa menangis dalam hati sambil berkata,’Tidaaak, malam mingguku, sirna!’
Harusnya malam minggu ini adalah waktuku berduaan dengan Ferry, kami sudah berjanji untuk pergi ke bioskop menonton film romantis hollywood keluaran terbaru, tapi di jam kedua, Yosie masih bercerita, seperti dosen yang berceramah dua SKS. Ferry tertawa-tawa mendengar cerita Yosie, sedangkan aku tertatih-tatih, terseok-seok menahan gondok.
“Om, Om, mamaku itu keljanya di lumah sakit. Di lumah sakit itu ada Pak Doktel, Bu Doktel, Om sama Tante Pelawat. Telus di lumah sakit itu kalau sakit disuntik-suntik...” Yosie terus mengoceh, dia bahkan meminum teh yang kubuat untuk Ferry, setelahnya memakan sepiring cake yang kusuguhkan pada Ferry, masih dengan mulut penuh, Yosie melanjutkan ceritanya, terlebih ketika Ferry mengatakan ‘terus, terus?’ dengan penuh semangat.
Tiga jam kemudian sebuah bom atom dilontarkan oleh Yosie, ia berkata “Om, Om Felly jadi pacal aku aja, jangan jadi pacal tante, tante suka ngupil, aku engga, kalau ngupil aku lap pake tisu, kalo tante upilnya dilempal kemana-mana.” Ferry tertawa mendengar perkataan Yosie, sedangkan aku, K.O.
Setelah insiden pernyataan cinta, Ferry berpamitan pulang, dan aku menangis di dalam kegelapan kamar sambil berulang-ulang merangkai syair ‘Bunuhlah aku saja!’
Hingga pintu kamarku terbuka dan lightstick berbentuk hati menerangi kegelapan.
“Jadi kalah nih sama anak kecil? tapi masih mau kan nikah sama aku?”
Ferry tersenyum sambil membuka kotak kecil berisi cincin berlian di tangan kanannya.
Yosie dan seluruh keluarga tertawa di ambang pintu, sedangkan aku tersenyum malu-malu tapi mau.