Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Sus, sus,” kata wanita dengan napas tersengal-sengal. “Apa di sini ada pasien yang bernama Rina?”
“Sebentar ya, saya cek dahulu.” suster muda dan cantik itu menatap layar komputernya. “Nama lengkapnya?”
“Ng—Rina Panduwarna. Sus.” wanita itu menatap suster yang berjaga di belakang meja panjang dengan kaca plastik.
“Ri..na Panduwarna, dia ada di kamar melati nomor tiga.” kata suster itu tersenyum.
“Terima kasih.” wanita itu langsung bergegas menuju ruangan yang tadi disebutkan oleh si suster.
Pintu berderak terbuka. Wanita itu sudah berada di ruangan yang dia cari. Di salah satu ranjang di dalam ruangan itu ada seorang wanita yang tengah duduk dan mengupas kulit jeruk. Rambut panjangnya yang berwarna coklat tergerai sampai menutupi wajahnya ketika sedang mengupas.
“Rina!” ujar wanita itu masih mengatur napas, kemudian mendekap erat Rina yang masih sibuk mengupas kulit jeruk.
“Su—susan.” ucap Rina berusaha melepaskan pelukan Susan. “Aku tidak bisa bernapas.”
“M-maaf.” Susan melepas pelukannya. Wajahnya terlihat begitu khawatir, “Kau baik-baik saja? Aku khawatir tahu, sangat khawatir. Bagaimana bisa pengendara motor itu menabrakmu?”
“Tenanglah, aku tidak apa-apa.” jawab Rina sambil tersenyum. “Lihat, aku sedang mengupas kulit jeruk saat ini. Kau mau?” Rina menyodorkan jeruk yang sudah dikupasnya.
Susan menggeleng, lalu duduk di kursi di samping Rina. “Untukmu saja, yang sedang sakit kan kau.” Susan menatap Rina dengan perasaan lega. Senang karena sahabatnya baik-baik saja.
Rina meraih gelas di meja kecil di sampingnya. “Ini, kau pasti kehausan karena berlarian.”
“Hm? Kau tahu dari mana aku tadi berlarian? Yah, pokoknya terima kasih.” Susan tersenyum hangat pada Rina.
Tiba-tiba, wajah Rina berubah drastis. Ekspresinya yang bahagia karena sudah dikunjungi sahabat tersayangnya, kini berganti jadi sangat muram. Tampak seperti sudah tak ada lagi kebahagiaan di wajahnya itu. Direnggut. Oleh sesuatu.
Sebuah kertas mencuat mengintip di bawah paha kiri Rina. Susan yang belum menyadarinya masih tetap tersenyum di samping sahabatnya itu.
“Susan,”
“Ada apa? Kau perlu sesuatu?” tanyanya polos.
“Kita sahabat selamanya kan?”
“Tentu saja.” katanya ceria. “Sehidup semati.” ucapannya lebih pelan dari sebelumnya. Susan kemudian tertawa.
“Bisakah kau menungguku di sana?” tanya Rina datar.
“Hm? Di... mana?” Susan bingung.
“Tiga bulan lagi aku akan menyusulmu.”
Sesuatu terjadi pada Susan. Dadanya menjadi sesak. Kepalanya terasa pusing, tak lama kemudian Susan terjatuh dari kursinya. Tubuhnya kejang-kejang.
Sebelum napasnya berhenti sepenuhnya, Susan mengulas senyum manis di wajahnya sambil menatap Rina.
“Seperti katamu, sehidup semati.” Rina membuka lipatan kertas putih yang dia tindih dengan paha kirinya. “Umurku tinggal tiga bulan lagi. Maafkan aku Susan. Aku benar-benar tak ingin kau punya sahabat baru dan melupakanku.”
Ponsel Susan berdering. Rina hanya menatap bingung. Kemudian giliran ponsel Rina yang berbunyi. Tapi bukan panggilan, hanya sebuah SMS.
“Rina, apa Susan di sana? Bisa kau suruh dia kembali? Dia harus operasi sekarang, penyakitnya sudah parah. Dokter bilang dia hanya punya waktu seminggu sebelum semuanya terlambat.”
Belum selesai membaca, dalam kebingungan Rina sudah terisak-isak. Air mata mengalir deras di pipinya yang pucat.
Sang sahabat ternyata punya waktu yang lebih sedikit darinya.