Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Perjalanan ini menemukanmu, saat kita bicara waktu itu mataku langsung terpenjara oleh matamu sampai tiga tahun lamanya. Aku tak mengungkapkan rasa, sebab aku tahu, bagimu cinta adalah jalan mulus menuju neraka.
Tahu kah engkau nov? di sela-sela waktuku yang penuh harap, aku selalu melangitkan doa ke dasar bumi, supaya kelak engkau jadi milikku utuh, dan hanya itu yang bisa aku lakukan dalam mencintaimu.
Hari-hari yang berganti aku lalui dengan teliti, merubah sikap-sikap tak terpuji menjadi sedikit lebih baik, agar apa semua itu Nov? agar aku bisa setara denganmu. Bukah kah engkau suka, melihat laki-laki yang rajin pergi ke Masjid, aku berusaha menjaga kebiasaan itu.
Tiga tahun telah berlalu, tantangmu yang tak bisa lagi kubendung dalam kalbu, kuceritakan. Sampai akhirnya aku mengerti, sekuat apa pun rasaku, tanpa kau tahu hanya akan sisa-sia.
"P"
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
"gimana kabarnya"
"Alhamdulillah sehat"
Setengah jam lebih aku menatap balasan pesan darimu, dan entah kenapa aku merasa tenang mendengar kalau kamu sehat.
"Oia Nov, masih inget gak pas kamu cerita pinsan di angkot itu."
"Oia inget-inget, kenapa emang?"
Meledak hatiku membaca pesanmu.
"Sejak saat itu, aku menyimpan rasa kepadamu."
Setengah jam berlalu kau tak membalasnya, aku mengerti semua ini terlalu mendadak. Tapi sampai pesan itu berumur satu hari, terus seminggu, terus satu bulan, tak ada jawaban darimu. Kamu ke mana aku menunggumu.
Tak redup rasaku meski kau membisu, kedua kalinya aku coba ungkapkan rasa ini lagi. Namun kali ini, kamu tak hanya membisu, rupanya kamu tak punya daya mengetik pesan untuk membalas. Kau pikir aku akan menyerah! Tidak! Ku coba sampaikan lagi rasa ini, supaya engkau tahu kalau aku serius. Dan kau membalasnya.
"Maaf aku belum siap menjalin hubungan apa pun untuk saat ini, aku sedang ingin menyelesaikan kuliah dulu. Terima kasih atas rasamu, semoga kamu mengerti."
Tentu, aku sangat mengerti. Dan sejak saat itu aku menghitung bulan sampai kelulusanmu.
Sebulan setelah pesan darimu, dan aku hitung masih butuh waktu tiga bulan lagi sampai pada kelulusanmu. Kamu memberiku surat undangan pernikahan. Habis dayaku karenamu.
Berulang kali aku tatap nama di surat undangan, tetap saja namamu yang tertera di sana, sama sekali tak berubah, bukannya aku tak bisa membaca, hanya saja aku tak ingin bisa, semua ini terlalu berat untuk di tanggung, aku berharap semua ini hanya mimpi saja, tapi aku merasa sakit saat ditampar. Terkapar di atas kasur mendekapkan surat darimu ke dada, sama sekali tak membuatku lega, bisingnya sepeda motor berlalu lalang, anak-anak berlarian, tapi masih bisa kudengar jarum jatuh ke tanah. Aku tak tahu apakah aku bisa melupakanmu, sebab padamu lah aku mengerti banyak hal.
Hampir mati rasanya, tapi perlahan aku sadar sebab hati ini telah lebih dulu belajar sabar pada dirimu.
Setelah pernikahanmu berumur, kini hari-hariku bisa bahagia meski selalu redup saat terkenang tentangmu, habis caraku untuk bisa lupakanmu. Kini aku ingin selalu hidup selama engkau hidup, aku ingin selalu menyaksikan dan mendengar tentangmu dalam kebahagiaan.