Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Usia kandunganku kini menginjak sembilan bulan. Tiap pagi, aku sempatkan diri berjemur di halaman rumah. Baru kusadari bahwa Mirna, tetangga baruku, selalu mengawasi. Ah, dia pasti iri karena sepertinya tak memiliki anak.
Seperti biasa, dia hanya mengangguk sambil tersenyum dalam balutan syal yang tak pernah lepas membelit lehernya. Tak pernah sekali pun kudengar dia berbicara. Herannya, akhir-akhir ini Mirna seolah ingin dekat denganku. Mungkin saja karena dia belum banyak mengenal tetangga.
Hingga saat melahirkan tiba, malam semakin larut. Kontraksi di perutku semakin tak berjeda. Rasa mulasnya, sudah tak tertahankan lagi. Aku hanya bisa merintih menahan sakit.
Sementara itu suamiku sedang menjemput Nenek Irus, bidan kampung di desa sebelah. Karena letak rumahku berada di pedalaman Kalimantan, sulit untuk memaggil dokter atau bidan Puskesmas, apalagi ke rumah sakit.
Aku tak bisa menahan dorongan keras dari dalam perut. Sepertinya bayiku tak bisa menunggu ayahnya pulang. Tubuh bagian bawahku sudah basah oleh cairan ketuban yang pecah bercampur darah. Aku berteriak sekuat tenaga untuk meminta pertolongan.
Entah kebetulan atau apa, tiba-tiba Mirna sudah berdiri di hadapanku. Aku bernapas lega karena tak harus lama menunggu pertolongan.
Tanpa diperintah, dia langsung memegang perutku. Tangannya sigap membantu mendorong kepala bayi yang hampir keluar.
Persalinan darurat berjalan lancar. Suara tangis bayi pun memecah kesunyian malam. Mirna tampak tersenyum, aku pun bernapas lega. Bayiku sudah terlahir selamat.
Saat menunggu bayiku di mandikan Mirna, suamiku datang bersama bidan. Kuceritakan apa yang baru saja terjadi.
Namun kami semua heran, karena tangisan bayi itu tak terdengar lagi. Begitu pun dengan Mirna, tak terdengar suaranya lagi.
Penasaran, suamiku beranjak memeriksa ke kamar mandi, tetapi tak ada siapa-siapa. Hanya ceceran darah di lantai yang ia lihat. Seketika ia tampak panik, kemudian berlari keluar seperti mengejar sesuatu. Akan tetapi, langkahnya terhenti. Suamiku seakan terkesima lalu berteriak sambil menunjuk ke atas.
"Ku ... kuyang! Kuyang!"
Suamiku pingsan setelah melihat sesosok kepala perempuan dengan usus terburai, melesat lalu melayang di udara seperti bola api.
Kurasakan bumi berputar-putar. Penglihatanku menggelap. Hanya tangan bidan itu yang kurasakan kuat memegang tubuhku.