Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku masih duduk termangu di teras, air hujan masih terlihat menetes dari beberapa dedaunan. Selalu seperti ini jika hujan turun, tak membuat bayanganmu hilang dari ingatan.
Di sini, beberapa bulan yang lalu, kamu masih duduk di sampingku. Kita berjanji akan menghabiskan waktu sampai tua nanti. Kita tersenyum malu-malu, saling pandang, lalu menautkan jari.
Nyatanya, kamu tak pernah kembali. Meninggalkanku dalam sepi.
"Dik, masuklah, sudah hampir malam." Sebuah suara membuyarkan lamunan. Seorang lelaki dengan kaus berwarna hitam tengah berdiri di ambang pintu, senyumnya merekah, berharap aku datang menghampirinya.
"Ah, iya. Aku akan segera masuk. Masuklah dulu," ucapku pada seorang lelaki yang sudah menjadi suamiku setahun yang lalu.
Lelaki itu mengangguk, lalu hilang di balik pintu.
Ah, andai kamu tahu bahwa aku masih di sini menunggumu, apakah kamu akan kembali? Menerimaku dengan segala kekurangan yang kumiliki? Apa kamu tahu bahwa aku di sini menderita?
Kutarik napas panjang untuk menenangkan diri, selalu seperti ini. Untungnya suamiku mengerti bahwa kamu adalah bagian dari hidupku, bayanganmu pun selalu tak bisa dia usir, dan dia memakluminya.
Salahkan aku, salahkan aku yang memaksamu untuk menerobos hujan berdua. Mengendarai sepeda hanya untuk merasakan indahnya cinta masa remaja yang tak pernah kita lalui.
Saat itu, kita memang tertawa bahagia, saling bercanda dan mengungkapkan rasa cinta. Sampai tak menyadari sebuah mobil dengan kecepatan tinggi membuat sepeda yang kita naiki terpelanting.
Masih terekam jelas saat kamu pergi, ada senyum di sana, senyum yang akan abadi di ingatanku selamanya.
"Dik, masih ingat dia?" Tiba-tiba suamiku datang, dia membawa sebuah jaket, menutupi tubuhku yang mulai kedinginan.
"Aku tak akan bisa melupakannya," ucapku pelan dengan air mata yang tak bisa dibendung lagi.
"Maaf," ucapnya lirih.
Aku terpaku, seribu kata maaf yang dia ucapkan, tak akan bisa mengembalikan kamu. Seandainya dia tak datang secara tiba-tiba, mungkin kamu pun masih ada, menemaniku.
Kuambil tongkat untuk berjalan yang setia berada di sampingku, lalu berjalan pelan ke arah pintu dengan susah payah.
"Pergilah jika kamu di sini hanya ingin menghapus dosa. Aku tak apa," ucapku pelan sambil memandangnya iba.