Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Papa, minum,” rengek malaikat kecilku.
Kuraih gelas kecil berisi air di atas meja, kudekatkan pada bibir mungilnya. Aku mengangkat pelan kepalanya dengan tangan kiri, tangan kananku menuntun sedotan plastik ke mulutnya. Dia menyeruput pelan. Bibirnya yang pucat menghisap air itu hampir tanpa tenaga.
“Minum pelan, Sayang.”
Tiga, empat kali hisap dia menggelengkan kepala. Hana, anakku, merebahkan kembali kepalanya lemah. Mata bulatnya terbuka setengah, kemudian tertutup. Bulu matanya yang lentik merapat. Sebentar kemudian, gadis kecilku itu pulas dengan nafas berat.
Kuletakkan punggung tangan ke dahinya. Panas membara. Wajahnya sepucat kapas. Selang infus dan peralatan medis menancap di beberapa bagian tubuhnya.
Sedari kecil, bidadari kecilku ini tumbuh lemah. Saat musim diare atau flu, dia gampang terserang. Pun, dia gampang lelah. Badannya ringkih. Namun, terlepas dari segala kelemahan yang dimilikinya, Hana adalah kasih Tuhan terbaik selama ini. Celotehnya, tingkah lakunya yang menggelitik tawa, keramahannya, membuat dunia kami berpendar saat bersamanya.
Pintu kamar terbuka pelan. Ratna, istriku, muncul dalam balutan celana panjang coklat dan baju bermotif bunga kuning. Aku ingat, baju itulah yang dipakainya enam tahun lalu saat aku melamarnya.
“Bagaimana keadaan Hana pagi ini?”
Aku menghela nafas berat. “Masih sama seperti biasa. Tidak mau makan. Separuh obat dimuntahkan.”
Ratna mendekat. Bola matanya bergerak perlahan. Terbayang kesedihan nan getir.
“Kau cantik sekali dengan pakaian itu. Mengingatkanku akan gadis menawan enam tahun lalu.”
Ratna tersenyum. Membalas remas tanganku.
Hana menggeliat. Ratna membuat isyarat pada telunjuk di bibirnya, menyuruhku diam. Candaku membuat Hana terbangun. Matanya membuka lebar, senyum merekah menghias wajahnya. Tangan kanannya menggenggam tangan ibunya, tangan kiri yang terpasang slang infus mencari tanganku.
Kusorongkan tanganku. Kucium kedua pipi dan kelopak matanya. Mata itu kembali terpejam. Kedua tangannya masih erat menggenggam tangan kami.
Ketukan di pintu memecah keheningan.
“Dokter sudah menunggu,” kata perawat dari balik pintu.
Kami meninggalkan Hana sendirian yang kembali tertidur.
“Anak Anda menderita Acute Lymphoblastic Leukemia stadium empat,” kata dokter pelan. Penuh keprihatinan.
“Bisa diobati kan, Dok?” tanya Ratna tak sabar.
Dia menghela nafas sebentar, kemudian melanjutkan, “Sel-sel leukemia yang terdapat dalam tubuh anak anda berkembang sangat cepat dan telah menggantikan sel-sel sehat. Sel leukemia jahat itu sudah terbawa ke aliran darah, ke organ tubuh yang lain. Anak Anda ….”
“Berapa lama anak saya bisa bertahan?” tanyaku mulai jengkel.
Pertanyaan yang sulit, tetapi aku membutuhkan jawaban pasti.
“Menurut ilmu kedokteran, dari hasil tes, anak Anda hanya sanggup bertahan dua bulan,” bisiknya lemah.
Istriku menangis hebat. Aku menggeram, mengepalkan tanganku. Dadaku serasa meledak. Air mata yang merembes kutahan sekuatnya. Ikut menangis hanya membuat kepanikan istriku bertambah. Bayang anakku yang bersiap menemui Sang Pencipta membuat seluruh kekuatanku menghilang. Tuhan! Biar aku saja yang menerima deraan ini. Please … jangan biarkan bidadari kecilku kehilangan sayapnya!