Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia menyimpan sebuah kisah elok moral. Tersebutlah seorang raja berbudi luhur bernama Tonjang Beru dengan sosok permaisuri berhati selembut sutera, ialah Dewi Serunting. Suatu ketika, sang Ratu melahirkan seorang anak dengan paras cantik jelita, diberilah ia nama Putri Mandalika.
Putri Mandalika tumbuh menjadi perempuan yang tak hanya berparas cantik, tetapi juga berkepribadian luhur. Sopan, lembut tutur katanya pada siapa pun itu, bahkan selalu membantu rakyat miskin.
Beranjak dewasa, saatnya Putri Mandalika dihadapkan perihal calon pasangan hidup. Para pria dari berbagai kerajaan mulai berdatangan bagai derasnya hujan. Demikian membuat Putri Mandalika merasakan kegundahan hati, sebab tak tahu harus memilih siapa.
Setelah berdiskusi dengan sang Ibunda, Ratu Dewi Serunting bersama sang Ayahanda, Raja Tonjang Beru, akhirnya didapat sebuah keputusan. Mereka mengadakan sayembara berupa perisean yang ternyata menjadi awal dari ujian terberat bagi Putri Manadalika.
Dua pangeran dari kerajaan berbeda, menempati puncak tertinggi setelah berhasil mengalahkan pemuda-pemuda lainnya. Merekalah Pangeran Datu Taruna dari kerajaan Johor dan Pangeran Maliawang dari kerajaan Lipur. Antara hidup dan mati, mereka rela lakoni demi mendapatkan sang putri yang menjadi impian terbesar. Pangeran Maliawang baru saja hendak mencambukkan tongkatnya pada bagian tubuh pangeran Datu Taruna, tetapi segera diurungkan ketika mendengar seruan dari Putri Mandalika.
"Hentikan sayembara ini!" tegas Putri Mandalika penuh penekanan. "Kalian semua tidak sepatutnya memperebutkan perempuan sepertiku. Aku merasa semakin bersalah, ketika di antara kalian timbul kecongkakan, penyebabnya tidak lain adalah aku. Maka, sayembara ini sudah sepatutnya dihentikan."
Perempuan itu kembali bersuara, "Aku akan mencari jalan keluar agar kalian semua tidak kecewa, juga tidak akan ada yang memperebutkanku lagi. Tunggu saja hari itu tiba."
***
Setelah kejadian sayembara, Putri Mandalika memutuskan untuk bersemadi. Sepulangnya, ia mengundang seluruh pangeran dan pemuda pada tanggal ke-20 bulan ke-10, sesuai penanggalan suku Sasak pada masa itu. Pantai Seger, tempat mereka dikumpulkan di pagi buta.
"Wahai sekalian insan, dengarlah baik-baik, rakyat dan penghuni istana sama derajatnya di hadapan sang Pencipta. Maka, berjanjilah untuk tidak bersengketa dengan sesama, tidak menyakiti sesama, tidak memecah belah perdaiaman. Cintaku berhak dimiliki oleh kalian semua tanpa terkecuali, tetapi ragaku mungkin tak ada yang bisa memiliki, kecuali Tuhan," kata Putri Mandalika tanpa sedikit pun meninggikan suara.
"Aku tidak bisa memilih satu di antara para pangeran dan pemuda lainnya, karena takdir sudah menghendakiku untuk menjadi Nyale, dan akan kalian nikmati bersama di tanggal dan bulan saat munculnya Nyale ke permukaan laut."
Di saat suasana menghiruk pikuk, Putri Mandalika melangkahkan kaki mendekati tebing menuju laut, berdiri dengan pahatan senyum dan raut berseri, lantas memejam. Perlahan, dayuan-dayuan memenuhi pendengaran sang putri, hingga tanpa terasa, sosoknya sudah lenyap terlalap gelombang. Semua orang panik bukan main, meneriaki nama Putri Mandalika berulang kali.
Sang Raja pun berseru, "Putriku sudah menjadi Nyale dan inilah saatnya kalian mendapatkannya tanpa perlu berebut dengan yang lain!"
Mereka memperhatikan laut dengan saksama, tampaklah di permukaan beribu ekor cacing laut. Semua orang terpana, ternyata, itulah jelmaan sang Putri Mandalika. Maka, tidak ada yang berdiam diri. Mereka menangkap Nyale dengan penuh kegembiraan.
Tamat.