Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku terbangun dipagi hari, menemukan seluruh hidupku yang kacau tak karuan didalam sebuah kamar. Terkapar diatas kasur dan sehelai kain yang menutupi sebagian tubuhku, suhu AC yang dingin menyusup kedalam kulit dan menembusnya menuju diriku yang hanya ditemani sehelai kain yang kusebutkan tadi.
Busana sudah bukanlah hal aneh tercecer dilantai, tubuh hina ini sudah sering melakukannya.
Kini kuberjalan menuju kamar lain yang sama kacaunya seperti hidupku, lutut yang bergetar tersungkur menahan air mata yang sudah tak memiliki batas mengalir dan membasahi pipi, mereka terus meluncur menuju perpotongan leher yang penuh dengan tanda merah disekujur tubuh.
Dia... Sudah tidak bernafas lagi...
Itulah yang sering aku sesali disisa umurku, dengan tangan yang terikat dikedua ujung kasur, dan selimut juga alas kasur yang memerah, bukan karena rona melainkan darah. Inilah saksi air mataku mengalir tanpa kendali.
Kugenggam wajahnya, tetesan air mata jatuh mengalir menuju seluruh tubuhnya, kugenggam wajah mulus itu, kugenggam tangannya. Dan kubisikkan kata kata yang kuharap dapat selalu didengar olehnya...
"Ini semua salahku... Kematianmu adalah tanggung jawabku.." bisikan yang tak akan pernah mendapat balasan.
Tangisanku semakin pecah dan menjadi jadi, kucengkram lehernya dan wajahnya, kupeluk tubuhnya. Berharap ini bukanlah yang terakhir.
Aku memohon kepadanya untuk menyampaikan kepada yang lainnya, agar ini bukan yang terakhir.
Aku terus mengatakannya, mengatakannya ratusan kali dengan ditemani air mata dan pelukan yang semakin mendingin karena mayatnya sudah semakin dibekukan suhu ruangan.
Inilah kali kedua dan terakhir aku tidur dipelukannya, aku merasa sangat sakit, mataku yang membengkak terus berdenyut hingga keesokan pagi kami masih dalam keadaan yang sama, hanya dibalut sehelai kain putih.
Kurasa sudah cukup...
Aku butuh handphoneku, aku harus mengabarinya sesegera mungkin. Meski terasa perih dimata dan tubuhku. Aku tetap harus mengabarinya, kuambil sebuah buku dengan terburu buru dan ponsel yang kuletakkan sembarang ditengah ruangan.
Kutekan setiap nomor dengan gemetar, kubuka setiap lembar dengan perlahan.
"Halo?" Suara berat diujung sana...
"Bagaimana? Kirimkan yang selanjutnya..." Dengan sebuah rokok yang kuhisap untuk menenangkan diri.
Kucoret sebuah nama
"John..." Dibawah ratusan nama yang sebelumnya sudah kucoret.
"Bagus, uangmu akan segera datang. Selanjutnya... Gio" lagi dia memang suka memerintah.
Aku beranjak menutup ponsel ketika mendapat sebuah nama, memakai seragam lalu menutup pintu dan menguncinya dari luar....
Ketika aku mengatakan dan berdoa agar ini bukan yang terakhir... Aku bersungguh sungguh mengatkannya, karena kenikmatan permainan dari pekerjaan ini sungguhlah membuatku merinding setiap aku mendengar kata kata permohonan mereka dan teriakan kesakitan mereka...