Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Pak Gondo, jadi bagaimana anda bisa menggeluti dunia properti yang tidak lazim ini?” tanya Andin, reporter wanita yang mengikutiku masuk ke dalam sebuah rumah kayu di pinggiran kota. Bau apak, busuk, lembab, bercampur amis menusuk hidung. Juru kamera yang mengikuti sang reporter serta-merta menutup hidung, menahan gejolak mual dari dalam perutnya.
“Pangsa pasar yang luas.” Ucapku sambil terus berjalan lebih jauh ke dalam rumah dan menekan sakelar lampu hingga ruangan menjadi terang benderang, “ada sangat banyak rumah terabaikan akibat kasus bunuh diri, pembunuhan, dan kematian-kematian tragis lain. Tidak ada keluarga yang mau mengurus rumah-rumah itu. Jika aku bisa mengurus dan menjualnya, ini adalah lahan pekerjaan yang menjanjikan.” Aku berbalik menghadap mereka begitu sampai di titik tengah rumah. Reporter dan juru kamera ini bekerja untuk sebuah stasiun televisi yang melakukan deep interview terhadap peristiwa ataupun pekerjaan aneh.
Mereka menangkap bahwa pekerjaanku cukup antik, dan mereka ingin melihat bagaimana aku bekerja. Maka aku membawanya pada rumah dengan kasus terbaru. Rumah dari seorang wanita yang tewas bunuh diri tiga belas hari lalu, sedangkan mayatnya baru ditemukan lima hari lalu. Rumah ini diserahkan kepadaku oleh pihak kepolisian dan keluarga pasca pemeriksaan tempat kejadian perkara, dalam keadaan sama persis ketika pemiliknya tewas.
Cairan-cairan hitam yang keluar dari tubuh jenazah masih menempel pada lantai rumah. Tali yang digunakan pemilik rumah untuk bunuh diripun masih menggantung pada kayu langit-langit rumah, kursi yang terjatuh akibat tendangan, serta darah yang mengering. Kecoak, lalat, dan belatung masih berkeliaran di mangkuk bekas makanan dan bekas tubuh jenazah terbaring.
“Selanjutnya, apa yang akan bapak lakukan dengan rumah ini?” tanya si reporter wanita, dengan juru kamera yang merekam ke sekeliling rumah. Tiba-tiba lampu di tengah ruangan meledak, menimbulkan suara pecahan kaca yang nyaring, seketika ruangan menjadi gelap gulita. Semilir aroma anyir semakin menguat, ruangan semakin terasa lembab dan dingin.
Dengan bergetar juru kamera menyalakan lampu sorot yang terpasang pada camecorder, ia mengarahkan cahaya secara tak tentu pada seluruh penjuru. Hingga pandangan kami tertuju pada satu titik, tali yang menggantung pada palang kayu langit-langit, seseorang tergantung di atas sana dengan pakaian putih dipenuhi bercak darah dan rambut terjuntai menyapu lantai. Lehernya terpuntir, matanya membelalak menatap tajam pada sang juru kamera. Dengan gerakan patah-patah sosok yang tergantung melepaskan diri dari jeratan tali, lalu bergerak terseok-seok mendekatiku. Desir gairah membumbung tinggi, kedua bola mataku memerah, seringai tawaku memecah udara, dengan satu gerakan tanganku sang reporter terbanting ke udara, lehernya mulai terjerat tali hingga kakinya menggelepar lemas.
Teriakan histeris memenuhi ruangan, mendesak keluar untuk meminta pertolongan. Tapi yang sudah berada di dalam rumah ini takkan dapat keluar. Lubang hitam menyedot tubuh sang juru kamera, aku dan wanita berambut panjang mencabik-cabik para korban, menikmati sel-selnya diiringi jeritan kematian.
Di ambang kematiannya, sang reporter melihat sebuah pesan singkat pada layar ponsel dalam genggamannya, “Mbak Andin, saya Gondo dari agen properti rumah, saya sudah menunggu satu jam di rumah yang akan diliput, tapi mbak dan kru belum datang, apa mbak kesulitan menemukan alamatnya?”