Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dada Nenek Warsum makin perih ketika tangis seorang orok menggetarkan rumah gedeknya. Hari pun sudah gelap, tidak mungkin Nenek Warsum tega memandikan bayi yang bau kecut itu. Nenek Warsum hanya sanggup menatap si bayi dengan penuh perhatian. Kemudian dia ikut menangis. Ya Tuhan, manusia mungil itu penuh kudis.
Pada akhirnya perasaan Nenek Warsum makin tak keruan. Putingnya tak pernah mengeluarkan susu. Nenek Warsum tak pernah meneteki bayi, bahkan tak pernah mengandung. Maka, ketika ada bayi kudisan yang merengek minta susu, hatinya hancur. Sungguh hancur. Dia menyalahkan dirinya amat sangat. Gagal sebagai seorang perempuan, begitu tuduhnya kepada diri sendiri.
Wanita tua itu lalu berjalan ke dapur, mengambil segenggam beras, dan mencucinya. Hanya, ketika dia hendak menyalakan tungku, suaminya menyela, “Tega kamu? Tega memberi tajin dari beras yang kuning dan berkutu? Ah, tega benar kamu.”
Nenek Warsum termenung sejenak, matanya kembali basah. “Ta—tapi, apakah kamu bisa tega membiarkan bayi itu terus menangis?”
Hening.
“Tengok! Kamu pun tidak tega.”
Kakek Warsum menggigit bibirnya, kemudian melongok keluar jendela. Pandangannya diarahkan jauh ke arah terminal. Di situ, magrib tadi, si bayi dipungut dari lebatnya tumbuhan tempuyung dan teki. “Saya akan ke rumah tetangga, barangkali mereka mau berbagi tajin,” katanya.
Lelaki tua itu berangkat dalam belenggu kepahitan. Dia lewati beberapa rumah, fokus menuju rumah Pak Lurah. Namun ketokannya ragu, malah Kakek Warsum kabur ketika disahut seseorang dari dalam. Ada rasa malu yang membakar kesejatian dirinya sebagai seorang laki-laki. Lagi pula Pak Lurah sudah kerepotan dengan kampung bobrok ini. Boleh jadi siang tadi telah ada dua-tiga warga minta tolong. Kakek Warsum sadar betapa repotnya seorang lurah.
Dan cahaya pengharapan Kakek Warsum surut saat melihat tampah berjejer di pekarangan tetangganya. Itu sudah sekitar lima hari dibiarkan siang-malam. Barangkali sekarang mulai menghitam dan ditumbuhi jamur. Memang sengaja dibikin begitu, mereka lagi buat gatot. Konon, lebih mengenyangkan daripada gaplek.
Sudah ratusan meter ditempuh, belasan rumah dikunjungi, tetapi Kakek Warsum belum juga mendapat tajin. Pengharapannya benar-benar telah mati. Bahkan dirinya hanya mematung di hadapan seorang mantan pegawai negeri. Kakinya gemetaran, hampir saja roboh kalau tidak dibantu tuan rumah. Kakek Warsum disuguhi minum, tetapi kerongkongannya dibiarkan tetap kering.
“Saya bukan dukun yang bisa ramal pikiran orang. Coba sampean bilang hajat datang ke sini. Barangkali saya bisa tolong walau cuma sedikit.”
“Ta—tajin. Boleh saya minta tajin?”
“Tapi istri saya sudah masak nasi.”
Kakek Warsum menunduk, tetapi mantan pegawai negeri itu buru-buru berjalan ke dalam. Wajah Kakek Warsum kian kisut. Dia paham, dia pasti disuruh menunggu hingga besok subuh. Ketika lelaki gaek itu akan beranjak dari tempat duduk, tiba-tiba tuan rumah kembali dengan segenggam beras. Kakek Warsum bugar. Dan cerah. Dia pulang dengan segenggam beras baik. Bahkan berjanji mengembalikan jika nanti matang.
Sesampainya di depan rumah Pak Lurah, beras baik yang segenggam itu tercecer di tanah. Kakek Warsum mendadak gagap. Dia melihat istrinya sedang menangis sambil berteriak minta tolong. Astaga, mulut bayi dalam gendongannya itu … berbusa.
Malang,
6 April 2021