Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Satria Pemalas terbangun dari tapanya, ia mendengar sabda dewa tentang sayembara #500 juta di negeri Kwikku. Sastrawan dari penjuru bumi berbondong-bondong mengikutinya. Sebut saja kaum oren, pecinta oppa-oppa sipit, dari dunia Oren yang sudah manjur menghasilkan sastrawan-sastrawan termahsyur.
"Aku pasti menang!"
Lagi-lagi dia berdusta. Malaikat juga tahu : ini sayembara sastra pertamanya.Satu-satunya sayembara yang dia menangkan hanyalah lomba makan kerupuk pas agustusan, dan puisi tingkat kampung dengan hadiah pulsa selawe. Itu pun yang ikut cuma 3 bocah ingusan.
Ia begitu bangga dengan prestasinya. Dimatanya dia adalah Saitama yang menundukan Mike Tyson dengan satu pukulan. Ia adalah Stephen King yang menerkam pembaca dengan diksi-diksinya yang mencekam. Satria lupa bahwa dimata Tuhan dia hanyalah molekul kecil yang tak lebih besar dari virus herpes.
Ini bukan sayembara kacangan, tapi si pemalas bodo amat. Dasar tukang kopi gila! dia berani menantang ribuan ksatria sastra yang harum namanya kesohor ke penjuru langit.
Ini sayembara berkelas. Lihat saja jurinya, ada Nyai Dee Dewi Lestari yang skill dan khayalannya bagai wizard jaman jahiliyah, magisnya bisa merubah diksi-diksi sendu jadi jamu teruntuk pecandu yang menikmati karyanya. Adapula Paduka Faza Meonk, sang kucing sakti yang tak bisa meong namun soal karya, karyanya sama terkenalnya dengan Vincent Van Gogh yang abstrak.
Atas petuah Mamahanda, si pemalas pun memilih sayembara novel.Dia trauma dengan Webtoons, 9 tahun berkarya hanya jadi aib keluarga.Tak sepeser pun uang yang dia kantongi. Kawannya yang sukses selalu bersabda, "berkarya itu harus karena cinta!"
Cinta ndasmu. Jangan kan ngomik, ketoilet pun bayar seribu.
"Ini saatku merubah nasib,"katanya. Satria lelah dengan cemooh musuhnya si Kakek Uranus yang selalu merendahkan surganya,mengusir kucingnya, dan duduk disinggasananya.Ia berjuang supaya dia dikenal dunia. Dia lelah melihat kepala mamahandanya yang terus diinjak-injak mulut musuhnya yang tercela.Dengan sastranya ia punya asa tuk mengangkat "surganya" kembali ke kahyangan.
Selama 90 hari, siang-malam Satria Pemalas terus begadang, jemari-jemarinya menari tiada henti diatas papan plastik demi menghasilkan anak-anak yang cantik. Promosi sana sini bagai maha raja yang bangga dengan putrinya. Seribu jam dia habiskan bersama Kwikku.com berharap cintanya kan seni berbalas.
Pengumuman jawara telah tiba.
Matanya menatap setajam elang ke layar komputer, jantungnya berdisko, menunggu hasilnya. Satu-satu jawara mulai diumumkan oleh sang admin. Dari yang paling bontot hingga jawara wahid. Dan tak sekalipun namanya disebut.
Gagal maning, gagal maning! kisahnya seperti musuh Tuyul dan Mbak Yul yang selalu gosong disembur Kentang. Ya, begitulah yang kurasa di awal karierku sebagai penggila sastra.
Ia menunduk lesu sepanjang jalan. Jalannya lunglai, bagai capcay yang belum dicacah. Jiwanya lelah mendengar bisik-bisik semu dari mulut tetangganya yang kotor. "Kemana saja dia? 3 bulan tak keluar rumah. Jangan-jangan ngepet ya?"
Satria pergi ke rumah Mamahandanya membawa kabar duka.Mamahanda tersenyum cerah, bertanya hasilnya pada anaknya. Satria penganggur pun menjawab,"gagal lagi Mak."
"Terus berjuang!"ucap Mamahanda.
Satria tak malu dengan kegagalannya. Dengan congkak ia berkata,"Ini mah belum seberapa.Butuh 998 kali kegagalan lagi buat ngalahin record Thomas Edison."
Sayembara telah berakhir, domba-domba oranye kembali ke kandangnya, tetapi Satria Pemalas tetap di istana. Ia merenung dalam nestapa, berguru pada pujangga, lalu tetap menanti Sang Kala memberinya asa.