Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Apa lagi yang kau mau hah!?"
Teriaknya ke sekian kali di depan wajahku, tanpa peduli pekak rasanya telinga ini.
Namun aku masih terisak, aku masih merintih, aku masih bertahan hidup dari caranya menyiksaku, yaitu dengan mencintaiku tanpa syarat.
Pisau yang sebelumnya ada di tanganku kini berada di tangannya, masih memancarkan rona padma dari darah kami yang saling menyiksa diri. Dia mendekatiku lagi dan menempatkan mata pisau di atas pergelangan tangannya.
"Apa kau senang, hm?" Dengan mudahnya dia ciptakan lintangan luka di situ.
Aku menangis, namun di satu sisi juga tersenyum. Tak ada nama yang mampu menggambarkan rasa apa itu.
"Kumohon," suaraku bergetar, "berikan pisau itu padaku, kita akhiri ini dan berdamai..."
Lekat dia pandang manik mataku, kemudian luruh pada perasaan cinta tanpa syaratnya itu. Pelan tapi pasti dia berikan pisau itu padaku, namun secepat detik kemudian dia menusuk jantungnya sendiri.
Aku berteriak, merasa dikhianati dan perih hati, segera kucabut benda itu dari tubuhnya lalu merengkuh sang pujaan hati dalam pelukan.
"Mengapa?" Tanyaku.
"Ini caraku berdamai denganmu dan perasaanku," jawabnya.
Tak ada kata lagi, kuangkat pisau itu dan kutancapkan ke tubuhnya, lagi. Dan menyesapi nikmatnya rasa sakit itu.