Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam telah tiba, seperti sebuah tradisi, seorang ibu dan anaknya menghabiskan malam dengan memadang bulan. Mereka duduk di teras rumah berlantai kayu beratap jerami sederhana, dan sebuah pelita kecil yang setia menemani.
“nak apa kau tau rahasia indahnya sinar rembulan?”
Sang anak tertawa kecil, dia berbisik dalam hati kecilnya. Aku tau.
“Ceritakan bu, ceritakan”
Ibunya akan bercerita bagaimana bulan sangat kesepian, tubuh bulan tidak indah, penuh lubang dan kusam. Matahari yang merasa kasihan memberikan sedikit sinarnya kepada bulan, matahari juga merasa kesepian tidak ada seorang pun yang mendekatinya karna tubuhnya panas. Bulan dan matahari bersahabat walaupun mereka tidak bisa mendekat. Setiap mahluk hidup di bumi mengangumi keindahan bulan, tanpa tau siapa rahasia di balik keindahanya. Matahari tidak merasa sedih, dia senang melihat bulan tidak muram lagi
“Nak ibu ingin kamu seperti matahari, menyinari dunia ini, melindungi dan memberikan kebahagiaan bagi yang lain. Apa kamu mengerti?”
“ Ia ibu, bagas akan menjadi yang terhebat, memberikan kekuatan bagas, seperti pahlawan di buku dongeng, hohoho” bergaya seperti pahlawan super dia tertawa
“ Ckckck... bagas, bagas..., ibu ingin kamu menjadi orang yang dermawan, tidak mengubar kebaikan, bersikap rendah hati”
Bagas duduk kembali dengan tenang “Ia bagas mengerti, bagas akan menjadi matahari buat ibu” bagas tersenyum lebar.
“ Tapi ibu, kenapa ibu suka melihat bulan di malam hari bukannya matahari di pagi hari?”
“Karna setiap melihat bulan, ibu bisa merasakan kebesaran sang matahari, ketulusan yang dia berikan tanpa mengubarnya, dan ibu bisa melihat kebahagian yang dirasakan sang bulan. Dengan melihat bulan ibu selalu teringat cerita yang selalu diceritakan oleh nenek moyang kita.”
“Oh...” bagas memandangi wajah ibunya dengan kagum, dia baru mengetahui betapa ibunya memaknai cerita ini begitu dalam.
“Lagi pula kalau melihat matahari siang hari panas, hahaha”. Keduanya tertawa.
Sambil memandang bulan bagas bertekad di dalam hatinya ia akan menjadi matahari seperti yang diinginkan ibunya.
Setiap hari mereka selalu melakukan kegiatan yang sama, tapi perlahan tradisi itu semakin memudar.
Sosok belakang ibu yang semakin membungkuk, dengan rambut putih memutih. Bibirnya yang dipenuhi keriput tersenyum, perlahan lahan tangan dan tubuhnya bergetar. Tangis ibu pecah di keheningan malam, sang ibu tersenyum, menangis, sesekali tertawa. Sebuah foto terjatuh di tanah, seorang pria dewasa dengan setelan jas hitam duduk di sebuah meja kantor bertuliskan direktur perusahaan “ YAYASAN SINAR PEDULI “
“Ak...hir..nya... kamu berhasil bagas". ibu tidak hentinya menangis dan memeluk erat surat serta foto yang amat di cintainya. Malam itu rembulan menjadi saksi kebahagian.
Kini teras berkayu yang dulu di penuhi kebahagiaan dan tawa, hanya tinggal keheningan.
Di teras rumah seseorang memandangi bulan yang kini tertutup awan, namun berkas cahayanya masih terlihat. Dia tersenyum menengadah di langit, perlahan air matanya jatuh.
“Bagas disini ibu”. memeluk erat foto ibu yang tampak muda tersenyum.
“Mafkan bagas ibu... maafkan bagas yang jarang menemani ibu, maafkan bagas yang tidak disisi ibu disaat terakhir, maafkan bagas” dia tak mampu lagi menahan tangis.
Kini bagas menyadari, bagas terus berusaha menjadi matahari, tapi dia hanyalah rembulan egois yang hanya menerima cahaya matahari, matahari yang selama ini bersinar lebih terang indah dari apapun, BUNDA.