Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ragu, kamu berjalan mendekatinya. Buru-buru menunduk saat netra coklat itu menangkap sosokmu. Tapi kamu tetap maju, dan duduk di hadapannya.
Sejenak hening meraja. Wanita itu memindai tubuhmu. Seolah memastikan sesuatu. Helaan napasnya terdengar sebelum bersuara, “Kamu ingat apa yang kita bicarakan dua hari lalu?”
Kamu mendongak, sedikit terkejut dengan pertanyaan yang di luar ekspektasi. Lalu mengangguk sebagai jawaban. Kilas memori dua hari lalu terpapar di angan.
***
"Jadi, menurutmu mencuri itu bisa dikatakan pembuktian cinta?" tanyanya.
"Iya,” jawabmu mantap. “Dia cinta kepada istrinya, dia cinta kepada anaknya. Dia tidak mau mereka kelaparan."
“Kenapa memilih mencuri sebagai pembuktian?” Keningnya berkerut.
“Karena kadang rasa cinta bisa sebuta itu, membuat orang rela melakukan apa pun.”
Tawanya berderai. “Tetap saja, pada akhirnya mereka semua menderita.”
Kamu mencebik, membenarkan perkataannya, tapi tetap memberi argumen, “Setidaknya si pencuri sudah berjuang. Toh, dengan dipenjara itu juga wujud cinta Tuhan untuknya, kan?”
“Bagaimana bisa?” Lipatan di dahinya kali ini lebih dalam.
Kamu tersenyum. Tidak langsung menjawab, lebih memilih menyesap kopimu lamat-lamat. Seperti sengaja mempermainkan rasa penasarannya. “Setidaknya Tuhan masih memberi teguran untuknya, yang artinya masih ada kesempatan untuk bertobat.”
Hening menjeda, membiarkan derik jangkrik berkuasa.
"Bagaimana dengan koruptor? Korupsi jelas bukan hanya untuk makan, bukan?" Dia masih mendebat, membuatmu menarik sudut bibir.
"Itu juga cinta."
"Bagaimana bisa?"
"Cinta dunia."
Dia terdiam sejenak, bisa jadi sedang berpikir. Menelaah jawaban yang kamu utarakan.
“Tapi ada banyak pelaku korupsi yang melenggang santai di luar sana. Bahkan penjara pun tak menjamin tobat mereka, kan? Apa itu artinya Tuhan juga mencintai mereka?” tanyanya lagi kemudian. Masih belum puas.
Terkekeh, kamu menggeleng. “Kadang pembiaran dari Tuhan adalah hukuman terberat.”
***
"Lalu, yang sekarang kamu lakukan apa?” Suaranya menarik kesadaranmu. Suara yang sarat ketidak percayaan. “Kamu belum berkeluarga untuk apa kamu mengambil kalung itu? Kamu cinta dunia?"
Kamu menunduk, memperhatikan baju biru tua yang kamu dapatkan beberapa jam yang lalu. Seragam dengan tulisan TAHANAN di bagian punggung. Wujud ketegasan jika saat ini gerakmu dibatasi. Ganjaran atas perbuatanmu kemarin malam. Ketahuan mencuri di toko perhiasan. Kamu menatapnya dalam, lantas menjawab, "Aku cinta kamu."
Tamat