Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sebaris antrian panjang mengular di depan sebuah kios yang dihuni seorang peramal garis tangan bernama Vasco. Ia dikenal sebagai ahli nujum ulung dengan ramalan-ramalan jitu. Di antara pengantri, berdiri dua orang pemuda: Darius dan Jaelani.
“Bagaimana kalau kita pulang saja?” keluh Jaelani.
“Kamu yang menyeretku kemari, ingin tahu apakah dia akan menerima cintamu,” sahut Darius seraya menggulirkan matanya. “Sudah kubilang, langsung nyatakan saja. Aku akan membantumu kalau kau memberitahuku siapa wanita ini. Kita jadi tidak perlu menunggu hingga tua seperti ini.”
“Rahasia. Aku belum berani dan aku tidak tahu kalau antriannya sepanjang ini!”
“Kita sudah menunggu dua jam, lebih baik tidak membiarkannya percuma.” Meski tampak tidak peduli, Darius sebenarnya juga penasaran akan nasibnya. Ia skeptis, tapi pikirnya tidak ada salahnya mencoba.
Sejam berlalu, akhirnya tiba giliran mereka. Jaelani duluan.
“Garis jodohmu bersilangan dengan garis kehidupanmu. Ia tak akan menerima cintamu. Tapi di minggu ini akan ada hari yang bersejarah untukmu,” ujar Vasco sembari mengamati garis tangan Jaelani.
Jaelani mundur dengan perasaan bercampur. Hatinya remuk, tapi juga tidak sabar menunggu keberuntungan apa yang menantinya. Mendengar hasil ramalan Jaelani, keraguan Darius menjadi-jadi namun ia tetap mengulurkan tangannya.
Vasco memulai ramalannya, “Gadis pujaanmu mencintaimu. Apa lagi yang kau tunggu? Selain itu, seseorang yang kau sayangi akan pulang.”
Jaelani menggigit bibirnya, tak kuat menahan dengki. Darius termenung, tak tahu harus bersikap bagaimana. Ketika ia akan menarik tangannya, Vasco mengeluarkan ramalan pamungkasnya.
“Dalam minggu ini, kau akan membunuh seseorang.”
“Hah?” Darius dan Jaelani terkejut serempak.
“Apa maksudmu? Membunuh siapa? Kalau kau memang peramal ulung, harusnya kau tahu!” Tangan Darius mencengkram kerah baju Vasco.
“Lebih baik tak kukatakan. Seseorang yang kau kenal,” jawab Vasco.
Darius dan Jaelani pulang tanpa berbicara. Beberapa hari berselang, Jaelani menelepon Darius.
“Bagaimana?” tanya Jaelani tanpa basa-basi.
“Gadis yang aku taksir mau jadi pacarku. Kucingku, Russell, pulang setelah tiga hari menghilang. Bagaimana denganmu?”
“Kamu belum dengar? Kemarin komikku diganjar penghargaan. Teman-teman yang lain sudah tahu.”
“Maaf, pikiranku sedang melayang ke mana-mana. Selamat, Jay.”
“Tak apa. Tapi Yus, aku harus menjauh dulu darimu. Jangan tersinggung.”
“Aku mengerti. Kamu tidak memastikan ramalan satunya?”
“Untuk apa? Tujuanku mendatangi Vasco adalah supaya aku tidak mendapat penolakan tepat di wajahku.
“Ayolah. Kalau kamu diterima, aku tidak perlu paranoid lagi. Dan kamu akan bahagia.”
Darius menutup telepon setelah Jaelani akhirnya menyetujui usulnya. Ia menghabiskan beberapa hari berikutnya dengan mengurung diri. Pisau, gunting, dan benda-benda yang bisa membunuh ia singkirkan dari dalam kamarnya. Telepon dari Ellen, pacarnya, ia abaikan. Yang ia pedulikan hanya kabar dari Jaelani, namun telepon darinya tak kunjung tiba. Menjelang waktu yang dikatakan Vasco berlalu, Darius menghubungi Jaelani. Sudah kuduga lelaki tua itu hanya penipu ulung, pikirnya. Ia berencana akan mendatangi Vasco untuk meminta uangnya kembali dan, yang lebih utama, ia ingin bersorak di depan mukanya. Ibu Jaelani yang mengangkat telepon. Ia bilang Jaelani belum pulang sejak berangkat ke rumah temannya, Ellen.
Vasco membaca koran yang menayangkan berita tewasnya seorang komikus yang tertabrak truk. Polisi masih menyelidiki apakah kasus ini murni kecelakaan atau ada kemungkinan pembunuhan ataupun bunuh diri. Vasco menyesap segelas susu hingga hausnya teratasi.