Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di tengah semesta yang gelap dan sunyi, hanya sesekali, beberapa planet berada selaras dalam satu garis. Seperti halnya manusia ketika reuni, mereka akan mengobrol satu sama lain saat itu terjadi. Perlu menunggu bertahun-tahun untuk saling bertemu kembali, jadi wajar saja jika Bumi begitu antusias ketika berpapasan dengan tetangganya, Mars.
“Hai Mars! Selamat atas pertunanganmu dengan Venus.”
“Oh, hai Biru! Terimakasih. Ngomong-ngomong, apa kesibukanmu saat ini?”
“Ah, seperti biasa. Mengasuh anak-anakku dan anak-anak titipan lainnya.”
Mars menatap Bumi seolah-olah ia planet paling aneh sejagat raya. Bayangkan saja, diantara milyaran planet, mana ada yang warnanya biru abstrak bercampur hijau, coklat dan putih seperti itu. Jika ada kontes kecantikan antar galaksi, sudah pasti Bima Sakti akan kalah. Lagipula, kenapa dia mau menampung planet jelek seperti Bumi, padahal sudah ada Saturnus yang menawan, juga Venus yang kecantikannya melegenda.
“Bumi, mungkinkah kau terlalu sibuk hingga tak sempat berdandan? Lihatlah calon istriku yang cantik. Kulitnya putih kekuningan dan terawat.”
“Ah ya, sepertinya begitu. Aku harus menjaga diriku tetap biru, agar anak-anakku tidak kehausan. Bumi menjawab pelan sambil tertunduk malu.
“Begitu rupanya. Aku mengira kau terlalu sering menangis hingga warna biru di tubuhmu semakin pekat.” Mars kemudian pergi tanpa rasa bersalah.
Bumi seketika menceritakan pertemuan singkat itu dan bertanya pada saudaranya, Bulan.
“Apa menurutmu sebagai planet, aku terlalu jelek dan cengeng hingga warna biru ini terus melekat di kulitku?”
“Dengarlah saudariku, tubuhku sudah dikunjungi oleh ratusan asteroid, dan aku belum pernah mendengar mereka bertemu planet yang lebih istimewa darimu. Bayangkan, kau merawat banyak sekali manusia yang bahkan bukan anakmu sendiri. Apalagi saat jutaan anak kandungmu ditebang dan dibakar oleh makhluk sialan itu, kau hanya mampu membanjiri mereka dengan hujan. Apa begitu kejamnya hidup, sampai kau tak boleh mengantar kematian mereka dengan tangisan?.”
Ombak di laut bergolak saat Bulan hendak memeluk saudarinya, tapi ia segera sadar bahwa itu belum saatnya. Dua tahun kemudian, saat oposisi Mars terjadi lagi, Bumi kembali menyapa tetangga lamanya.
“Hai Mars! Kudengar ratusan manusia akan segera berpindah tempat dan membangun peradaban di tubuhmu.”
“Ya, memang benar. Mungkin mereka sudah tak tahan dengan sikapmu yang cengeng.” Jawab Mars dengan angkuhnya.
“Sesenang itukah kau mengejekku? Apa kau belum tahu makhluk seperti apa mereka?”
“Oh itu tak penting, yang jelas ini membuktikan bahwa aku jauh lebih unggul daripada kau.”
“Terserah kau mau bilang apa. Aku hanya ingin memperingatkanmu, bahwa mereka itu makhluk yang suka sekali memaksa. Semoga kau takkan menangis dibuatnya.”
“Memaksa? Maksudmu?”
“Iya, memaksa. Jika kau tak kunjung menangis, mereka akan melakukan segala cara untuk membuatmu mengeluarkan air. Entah itu menampar awanmu dengan berton-ton butiran asin, atau menggali sedalam mungkin ke dalam perutmu, hingga kau tak punya pilihan lain selain memuntahkan isi perutmu. Itu satu-satunya cara agar mereka tak mati kekeringan. Jika mereka tak suka kulitmu yang lembek, mereka akan menumpahkan cairan kental berwarna abu agar kulitmu mengeras, sehingga mereka leluasa untuk berjalan. Lalu jika…”
“Hentikan!! Kau mencoba menakutiku bukan?"
Bumi sedikit berguncang, tertawa melihat Mars yang tampak ketakutan.
“Hahaha, nanti juga kau akan tahu, apakah ini lelucon atau memang sungguhan.”