Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Selesai penyerahan kunci rumah yang baru dibelinya di pinggiran kota Depok, Sofar langsung memacu motor Jupiter Z miliknya untuk menemui Mailila. Gadis itu sudah lama menjadi dermaga tempat menambatkan perahu cintanya.
Sejauh yang Sofar tahu, Mailila tak pernah dekat dengan lelaki walaupun dengannya juga tak ada hubungan spesial selain teman satu komunitas sastra dan sama-sama anak rantau. Kebetulan dekat karena satu kota dan menyukai air terjun. Bahkan, sudah sering mereka berburu air terjun berdua di berbagai kota.
“Kenapa suka?” Pertanyaan itu pernah terlontar dari mulut penasaran Sofar.
“Lihatlah air itu. Jatuh namun dalam keindahan,” terang Mailila. “Tak mudah dalam posisi jatuh sesuatu bisa memertahankan keindahannya.”
“Bintang juga. Kenapa air terjun?” sanggah Sofar. Mailila menarik napas dalam mencoba menikmati aroma khas dari deru air terjun lalu menghembuskannya perlahan dengan mata terpejam. Sejurus kemudian, gadis itu menatap tajam ke Sofar.
“Bintang tak bisa dihirup!” Tawa Sofar langsung meledak. Mailila gadis yang tak terduga dengan berbagai kejutan. Bersamanya, Sofar merasa hidupnya yang hambar dengan rutinitas pekerjaan merasa tergenapi.
Sofar memacu motornya lebih kencang. Ia tak sabar bertemu dengan Mailila untuk mengungkapkan perasaannya. Sudah lama dia menunggu saat ini. Sofar memang hanya menginginkan hubungan yang serius jika menyangkut perasaan kepada perempuan. Dia berjanji kepada dirinya sendiri, akan menikah bila sudah memiliki rumah dan Maililia adalah perempuan yang sekarang paling diinginkannya sebagai pendamping hidup. Sofar merasa gadis itu memiliki perasaan yang sama.
Meilila baru saja menutup pintu kontrakannya hendak pergi ketika Sofar datang. Meilila antusias menyambutnya. Gadis itu tampak sangat bahagia. Sofar menganggapnya firasat baik.
“Panjang umur. Baru aku mau ke tempatmu.”
“Mungkin itulah yang disebut ... kemistri?” sahut Sofar sembari mengendikkan bahunya. “Emang ada apa?”
“Nih.” Mailila tersenyum lalu mengangsurkan sebuah undangan. Membacanya, Sofar hancur seketika karena nama Mailila dan seorang lelaki yang bukan dia terukir di sana. “Minggu depan. Dateng ya. Nikah di sini kok bukan di kampung.”
“Tapi ....” Sofar mencoba menguasai dirinya.
“Tapi apa? Oya, kamu ada perlu apa?”
“A, aku. Aku cuma mau bilang besok mau pulang kampung. Gak balik ke sini lagi. A, aku mau pamit sama kamu.” Jauh di dalam hati, Sofar mengutuk dirinya yang berkata dusta.
Sampai di rumah barunya, Sofar langsung memasang papan pengumuman bahwa rumahnya dikontrakkan dua ratus ribu sebulan di depan rumah. Dia sudah tak waras. Setelahnya, Sofar berkemas. Dia berencana menyepi di puncak gunung Salak barang beberapa pekan.
Benar saja, baru sampai Bogor, Sofar ditelpon nomor tak dikenal.
"Baik, Pak." Sofar langsung kembali ke Depok karena calon pengontrak rumahnya memaksanya datang.
Sial! Setelah sampai, Sofar kesal, bapak-bapak yang menelponnya tak ada wujudnya, setelah ia bilang berjanji menunggu. Hanya terlihat seorang perempuan muda di depan pagar rumahnya terlihat menunggu seseorang. Perempuan itu menyapanya.
"Mas Sofar?"
"Iya. Emm, mbaknya tadi lihat bapak-bapak di sini? Katanya mo ketemu tapi gak ada."
"Oh. Itu maaf tadi saya yang telpon. Pake filter buat ngerjain temen lupa dimatiin, Mas."
"Pantes. Bapak-bapak namanya Juwita." Sofar menghela napas. "Sendiri? Suaminya?"
Juwita tersenyum. "Belum nikah, Mas."
"Saya juga."
Lancang benar mulut Sofar. Beraninya berkata demikian tanpa kendali darinya.