Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Semboyan 5 sudah menyala di sana, seolah mengusir lekas-lekas 7FDL-8 yang sejak tadi rakus membakar BBM High Speed Diesel ke udara.
Ia sudah di sana, gumamku, saat melihat PPKA sudah berdiri dan mengangkat Semboyan 40 berupa tongkat dengan lingkaran hijau di ujungnya.
Peluit panjang dari kondektur sebagai Semboyan 41 pun menyambut mesra sinyal yang diberikan oleh PPKA, diikuti gema Semboyan 35 meraung ganas, menegaskan bahwa otot-otot traksinya akan segera bergerak.
Keenam Traction Motor yang menggerakkan dua-belas-roda-besi langsung bereaksi ketika mesinnya meraung pada kecepatan 1.050 RPM, sontak menggelontorkan tenaga kontinu sebesar 2.250 dk dan ditranslasikan untuk memutar Generator GT601, merubah segala momentum ke dalam bentuk listrik, selanjutnya dialirkan ke motor-motor yang menyangga lokomotifnya.
Perlahan, kereta ini melaju secara gradual, meninggalkan Stasiun Gambir untuk segera tiba di Bandung.
*****
“Jadi ini Stasiun Bandung?” tanya Hilman saat kakinya melangkah keluar dari gerbong Eksekutif 4.
Aku mengangguk, “tempat tinggal gue dari kecil bro,” ujarku lalu berjalan di depannya dengan cepat, melewati lokomotif Double Cabin yang masih langsam di Peron 3.
“Jadi sekarang kita mau ketemu Marsha?” tanya Hilman antusias.
“Kita ketemu dulu sama kakaknya Marsha,” ujarku lalu melambaikan tangan ke arah Malik, kakak dari Marsha.
Aku tersenyum kepada laki-laki itu, wajahnya masih sama seperti sebelumnya, air mukanya masih terlihat begitu pedih, menyembunyikan kesedihannya sejak terakhir pertemuanku beberapa bulan yang lalu.
Kami beriringan menuju tempat parkir, menaiki sebuah kendaraan J Segment berwarna putih dengan tulisan Prestige yang berada di sudut kanan bawah belakang mobil ini, menandakan ini adalah mobil full option untuk model tersebut.
“Langsung ato mampir dulu?” tanya Malik saat itu, aku yang duduk di sebelahnya hanya memandang kakak kandung Marsha tersebut, lalu melempar pandangan ke Hilman.
“Langsung aja Kak.”
“Tumben dateng lagi Rei?” tanya Malik pelan aku hanya menunduk sambil mengancingkan sabuk pengaman tiga titik ini.
Tiada lisan yang terlontar, hanya senyum yang teruntai untuk Malik.
“Aku ngerti gimana Rei,” ujarnya lalu melajukan mobil ini.
“Aku kangen sama Marsha Kak,” ujarku pelan, di balik riuhnya suara angin yang menerpa windshield AGC LAMISAFE DOT305 yang digunakan mobil ini.
Malik begitu lihai menghindari kemacetan yang selalu terjadi di hari Sabtu, tidak ada yang bisa kami lakukan selain langsung menuju ke tempat dimana aku bisa langsung bertemu dengan Marsha.
Sekitar setengah jam berjalan menyusuri jalanan di kota Bandung, keempat kaliper rem di mobil ini kemudian menghentikan laju R20A yang tertanam secara transversal di balik kap mobil ini.
Saat melihat ke sekitar, Hilman hanya menatapku keheranan.
Lisannya masih terkunci, tenggelam dalam kesadaran yang saat ini seakan menerbangkannya entah kemana, matanya masih melihatku dengan tidak percaya saat kubukakan pintu kendaraan ini dan memintanya untuk keluar.
Aku memimpin langkah, perlahan, satu per satu hingga aku benar-benar tiba di sana, di tempat biasa aku bertemu dengan Marsha, aku berusaha tersenyum kepada Hilman seraya menghentikan langkahku, membiarkannya menatap gadisku.
“Kenalin, Marsha,” ujarku pelan, seraya menunjukkan nisan yang bertuliskan Marsha Yuniar binti Arkam.
Hilman masih memandangku dengan tidak percaya, ia lalu melihat tanggal yang tertulis, “jadi mantan loe udah pergi Rei?”
Hanya anggukan kepala, menuntaskan dahaganya tentang Marsha.