Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Mereka bilang apa?"
"Aku jelek. Kamu?"
"Mereka bilang, aku nggak mirip laki-laki lagi."
"Kata mereka, jerawatku lebih banyak dari ekspektasi guru ke muridnya, gitu."
"Dulu aku idola, sekarang aku malah disamain kayak kaum perempuan."
"Nggak ada satu orang pun yang suka sama aku, aku disuruh operasi wajah dulu."
"Belakangan, aku dicap nggak normal. Gosip gampang sekali disebar, ya?"
"Loh, kita sama."
"Sama?"
"Mereka juga ngatain aku nggak normal gara-gara nggak pernah punya pacar, padahal ..."
"Padahal?"
"Ah! Emang nggak ada yang suka sama aku, mereka mungkin ada benarnya."
Cerita ini terjadi beberapa minggu yang lalu, ketika beberapa hal masih tidak se-jelas yang kuinginkan.
Dimulai dari anggapan bahwa dunia kami ternyata tidak se-berbeda itu. Dia murid idaman semua orang, sedangkan aku sebaliknya. Dia tampan, aku sama sekali tidak cantik. Dia cerdas, sementara nilai ujianku masih di bawah rata-rata. Dia terkenal, dan aku terbuang. Tunggu! Jadi yang mana 'tidak se-berbeda' itu?
Yah. Kami sama-sama baik hati, selalu menghormati siapa pun, dan tidak mengenal satu sama lain. Aku ... cuma menatapnya dari jauh, menilai seberapa berbedanya kami. Lalu penilaian itu berubah begitu saja, ketika seorang gadis asing mengirim pesan kepada banyak murid, "Dia mirip kaum perempuan."
Lalu, "Dia suka chat banyak cewek, karena semua teman dia itu anak cewek."
Malamnya, cowok populer itu benar-benar mengirim pesan untukku—sebagai teman gadisnya.
"Hai, suka bunga?"
Kubilang, "Suka. Kenapa?"
"Oh. Aku juga suka, dong. Buket besar. Kamu?"
"Konfeti. Konfeti mawar."
"Konfeti kan dari kertas, benar nggak?"
Aku tidak membalasnya lagi.
Pesan-pesan remeh lain mengalir seperti cibiran harianku, yang pada akhirnya malah menghilang karena kemunculannya sebagai 'sosok' baru. Selama beberapa saat, aku merasa beruntung karena gosip tentang cowok itu mengalihkan segala hal, membuat ketidaknormalanku terlupakan. Betapa beruntungnya aku, bukan?
Jadi, kuputuskan untuk mengirim pesan suatu hari.
"Sebagai tanda terima kasih, aku mau ngasih kamu buket bunga."
"Oh ya? Mau, mau," balasnya.
Dia berkata akan datang ke tempat yang kami sepakati. Tapi tempat itu kosong melompong, selain ponsel hitam yang berkedip-kedip di sebuah bangku panjang. Ketika kotak layarnya menyala, beberapa pesan terkirim dari gadis asing 'yang dulu' muncul di sana, disertai sederet pesan lain untukku.
Hanya untukku?
Apakah cowok itulah si gadis penyebar gosip? Demi mengalihkan isu?
Saat kugenggam buket bunga lebih erat, letupan kecil mengejutkan telingaku, diikuti ratusan kelopak mawar dari langit.
Lalu ...
Lalu dia muncul, bukan untuk menerima hadiahnya, namun menyelamatkan seseorang dari sebuah kata 'ketidaknormalan'.