Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bau antiseptik yang menyengat.
Lorong putih panjang.
Hawa dingin yang menggigit.
Dengan enggan Lakshita melangkah menyusuri lorong tersebut.
Kalau bukan demi untuk menengok Regina sahabatnya,
dia bakal menolak keras.
Bukannya tak suka,
hanya saja tempat ini membuat energinya terkuras.
Hampir setiap langkah menghela napas.
Sesekali menyibukkan diri memandang ponselnya.
Berusaha tampak wajar.
Dan mengacuhkan keramaian dalam kesunyian di sekelilingnya.
Mendekati ruang intensif, Lakshita mempercepat langkahnya.
Tak ingin berurusan dengan jiwa-jiwa yang belum menemukan jalannya.
Tapi seorang lelaki tak sengaja menabraknya.
Lakshita nyaris terjengkang dan ponselnya terjatuh.
Dia pun berjongkok memungut ponsel kesayangannya.
Membuatnya mau tak mau mendengar ratapan dan tangisan.
Dari celah pintu yang sedikit terbuka.
Lakshita melihat lelaki itu meraung dan meratap.
Berusaha membangunkan seorang gadis yang terbaring kaku.
Lakhita menahan napas.
Nyaris saja bertatapan dengan gadis yang berdiri di samping lelaki itu.
Wajahnya pucat.
Kesedihan tersirat jelas di matanya.
Dan tubuhnya bagai kabut tipis.
Dengan secepat kilat Lakshita kembali menyusuri lorong.
Berbelok ke kanan dan naik elevator menuju lantai dua.
Ke ruang rawat Regina.
Dengan tergesa Lakshita menutup pintu.
Regina menatapnya heran.
"Kali ini siapa lagi yang kamu lihat?" kata Regina santai. Sudah terbiasa melihat ekspresi Lakshita yang seperti ini.
"Biasa ruang ICU," jawab Lakshita datar sambil menghempaskan tubuhnya pada sebuah kursi di samping brankar Regina.
"Terus kenapa dia mengikutimu sampai ke sini?"
"Mana kutahu. Kamu saja yang bicara padanya," kata Lakshita enggan.
"Tapi dia maunya bicara sama kamu!"
Oh ya ampun ....
Lakshita menghela napas panjang.
Inilah sebabnya dia enggan ke rumah sakit.
Karena banyak yang berada di ambang batas antara kehidupan dan kematian.
Dan dia sering menjadi si pembawa pesan.
***