Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Ini gara-gara kamu, sih!”
“Loh, kok gara-gara aku?”
“Iya! Kalau bukan karena ide tololmu untuk bulan madu di tempat wisata bernuansa alam, kita nggak bakal nyasar kayak gini!”
Rangga mendengus kesal. Nyalinya ciut dimaki mentah oleh Vina yang baru dinikahinya tiga hari lalu.
“Kamu diam sebentar bisa nggak, sih? Aku lagi konsen cari jalannya ini!”
Vina memalingkan wajah, menatap perkebunan di luar jendela yang gelap gulita.
“GPS konyol! Sudah dua kali kita dibawa ke alamat salah! Pertama pabrik sepatu, kedua rumah penduduk. Mana semuanya di tengah-tengah kebun lagi! Sekarang kita cuma muter-muter nggak jelas, sinyal ilang, udah larut malam… Duuuuh, jangan-jangan kita ini udah masuk dunia lain, diculik jin!”
“Vina, stop!”
Rangga berusaha terlihat tegas, menutupi rasa takut yang mulai menyelubungi dirinya. Dasar sial! Niat cari penginapan murah dekat tempat wisata kenapa malah jadi horor gini? Apes!
Vina mulai menangis, menambah suasana makin dramatis. Dalam kekalutan, Rangga terus menyibak kabut dengan mobil yang berjalan perlahan. Tiba-tiba matanya menangkap sebuah titik cahaya. Dia mendelik.
“Vin, lampu, Vin!”
Vina langsung membelalakkan mata, mengais secerca harapan bahwa itu adalah tempat tujuan mereka.
“Pondok Bulan?” gumamnya pelan.
“Semoga aja.”
Mobil terus melaju memasuki sebuah gerbang besar yang pintunya terbuka. Dari balik kabut yang terkuak, mereka lantas melihat satu-satunya rumah besar di tempat itu, bermandikan cahaya dari lampu temaram, dikelilingi kebun dan hutan berpohon besar. Vina dan Rangga menganga.
“Ini rumah hantu atau rumah mafia?” Vina bergidik.
“Ini Pondok Bulan, Sayang…”
Rangga menunjuk papan kecil yang tergantung di sisi pintu masuk rumah tersebut yang bertuliskan “Selamat datang di Pondok Bulan”. Keduanya lantas keluar dari mobil dengan perasaan campur aduk.
“Kamu nggak salah pilih penginapan, kan, Sayang?” tanya Vina.
“Nggak! Di aplikasi hotel daring tempatnya kelihatan bagus, kok! Lagian kan kita udah bayar. Sayang duitnya…”
“Permisiiiiiiiiii!”
Sebuah sapaan dari arah kebun membuat keduanya menoleh. Tampak seorang pria bertubuh tambun berlari kecil mendekati mereka dengan senter tua di tangan. Dia tersenyum ceria, membuat Rangga dan Vina mendadak lega. Akhirnya ketemu manusia juga!
“Maaf, saya tadi ke gudang belakang.” Pria itu terengah di depan Rangga lalu lanjut bicara, “Ini dengan Pak Rangga? Saya sudah menunggu anda dari sore!”
Rangga tersenyum kikuk, “Maaf, Pak, kami nyasar berkali-kali.’
“Ooooh, biasa itu!”
Kedua pria itu lantas mengobrol sebentar sementara Vina memandangi seantero bangunan. Saat tatapnya tiba di jendela ujung lantai dua, dia mengernyit.
“Kalau begitu, mari kita selesaikan urusan administrasi di dalam, Pak Rangga!”
“Baik, Pak Anwar. Tapi saya turunkan barang kami dulu dari mobil.”
Vina tiba-tiba menahan lengan Rangga.
“Pak Anwar, selain kami, siapa lagi yang menginap di sini?” tanyanya pelan.
“Nggak ada, Bu. Pengunjung terakhir sudah pulang beberapa hari yang lalu.”
“Lah, tadi saya lihat di lantai atas, lewat jendela, ada lelaki tua pakai piyama hitam…”
Pak Anwar tergelak paksa.
“Oooh, itu mungkin mendiang Pak Trisno, pemilik penginapan ini yang meninggal tiga tahun lalu. Beliau memang suka mampir, hehehe…”
Vina dan Rangga terhenyak bersamaan. Tawa Pak Anwar lantas memudar, berganti senyum tipis penuh misteri.
“Selamat datang di Pondok Bulan. Jadi bagaimana, saya bawa barang anda ke kamar sekarang?”