Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sunyi.
Gelap.
Mataku masih terpejam, namun aku tetap bisa mendengarnya. Suara pintu berderit dan suara langkah kaki. Berjalan pelan menjauh dengan satu kakinya yang terdengar seperti diseret. Mungkin terjadi sesuatu antara orang itu dan aku tadi. Sayangnya aku tak bisa mengingatnya.
Jantungku berdegup dengan kencang setelah mendengar suara berdebum di depan pintu. Orang itu sepertinya ambruk. Hembusan angin menerobos masuk dari asal suara derit tadi. Aku tidak mendengar suara derit pintu lagi setelah tadi orang itu membukanya, itu artinya pintu dibiarkan terbuka saat orang itu keluar dan ambruk.
Aku bisa merasakan urat di tubuhku menegang. Terutama di bagian tangan kananku.
Aku menggenggam sesuatu. Tongkat? Bukan, bukan tongkat. Sebuah gagang. Pisau? Aku menggoyangnya pelan. Di bagian ujungnya berat. Golok. Yang saat ini ada di tanganku adalah golok.
Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ada golok di tanganku? Apa yang sudah kulakukan?
Bau menyengat mulai menusuk hidungku. Arahnya dari sebelah kiriku. Hembusan angin yang masuk membuatnya semakin parah.
Aku memberanikan diri membuka mataku. Perlahan-lahan.
Tangan kananku masih menggenggam golok. Dan semakin erat selama aku membuka mataku.
Pandanganku belum pulih, semuanya tampak kabur. Sekelebat memori melintas dalam kepalaku. Aku bisa melihat dengan jelas kini. Aku sekarang berada di ruangan yang gelap. Cahaya yang masuk lewat pintu membantuku melihat segalanya.
Pakaian dan tangan kiriku penuh noda darah. Golok yang kupegang juga terdapat banyak sekali darah, terus menetes saat aku berdiri untuk mengamati sekelilingku.
Ada tumpukan kantung plastik berwarna hitam di arah bau menyengat yang menusuk hidungku. Sampah?
Kenapa ada orang yang menyimpan sampahnya di dalam rumah?
Siapa pemilik rumah ini?
Di dinding ada beberapa foto. Aku mendekat agar bisa melihatnya dengan jelas. Dia pasti pemilik rumah ini.
Aku berjalan mendekati orang itu, yang ambruk di depan pintu. Aku melewati sebuah cermin. Ukuran yang besar menjadi alasanku terpaku di depannya.
Cermin itu... Memperlihatkan wajahku. Yang sama persis dengan foto yang ada di dinding. Apa aku pemilik rumah ini?
Aku berjalan mendekat ke arah orang itu. Dia... Bersimbah darah. Apa aku yang melakukannya? Apa aku yang membunuhnya? Apa itu yang aku lakukan tadi? Apa itu sebabnya ada golok di tanganku?
Siapa dia?
Aku mencoba meraihnya dengan tanganku yang gemetar. Dia yang terkapar bersimbah darah di lantai. Ada borgol di saku bagian belakang celananya.
D—dia, tiba-tiba bangkit dan menatapku. Dengan wajah yang berantakan dan bercak darah di mana-mana, dia menatapku santai. Seolah tak terjadi apa-apa.
“CUT!”
Eh?!