Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Cyllia menghela napas seraya menggelengkan kepalanya, “kamu udah gak mungkin lagi San buat dapetin aku.”
“Mungkin raga aku bisa sama kamu, lakuin banyak hal ke kamu.”
“Tapi, hati ini udah jadi punya Kak Fariz.”
“Apa rasanya kalo saat badan kita di sini, tapi hati di tempat lain?”
Aku menggeleng, “bukan itu Cyll.”
“Aku paham, tapi bukan itu,” sanggahku.
“Jadi gimana?” tanya Cyllia, ia tampak heran dengan kata-kata yang terucap barusan.
“Buat aku, ada sama kamu aja udah ngebuat aku bahagia Cyll.”
“Apa kamu pernah paham, gimana senengnya aku ada di deket kamu sekarang.”
Gadis itu menggelengkan kepalanya cepat, tertawa kecil, “aku gak pernah nyangka bisa bahagiain orang lain selain Kak Fariz.”
“Jadi aku gak pernah paham.”
Ucapannya mengambang di antara senyum dan sorot matanya yang begitu jernih. Bahkan, aku tidak dapat membaca ekspresi apapun dari air mukanya saat ini.
Aku terdiam.
Memikirkan lisan Cyllia barusan yang seolah menamparku dengan intonasi lembutnya, seperti ia ingin mengatakan jangan teruskan ini, dan kembalilah kepada Cahaya. Tapi setelah apa yang terjadi di antara aku dan Cahaya, berkunjung kepadanya pun aku enggan.
Bibirnya yang selalu berwarna merah tanpa pemoles itu seolah tak pernah berhenti menggoda segenap relungku untuk selalu lebih menginginkannya.
Lebih dari sekadar raga.
Lebih dari sekadar sebuah sentuhan.
Entah, aku tidak dapat mengabaikan pesona gadis yang selalu menyunggingkan senyuman manisnya. Wajahnya yang chubby dengan tulang pipi yang tinggi, serta rambut panjang bergelombangnya yang selalu dihiasi poni, terbelah di bagian kirinya membuatku tak pernah bosan memandangi walau sudah berjam-jam aku bersamanya.
Aku tidak ingin membicarakan kesempurnaan tubuhnya, aku tidak ingin mengakhiri cintaku dengan mengagumi keindahan yang mungkin hanya bisa dijangkau oleh Alfarizi. Tetapi, dengan segala keindahan dan juga kecerdasan yang ia miliki, siapapun pasti ingin memilikinya.
Menjadi istri, dan seorang Ibu yang bisa mengajarkan banyak hal kepada anak-anaknya.
Tetapi, hatinya sudah ia kunci rapat-rapat hanya untuk Alfarizi, dan itu adalah hal yang lumrah mengingat apa yang telah Alfarizi lakukan sejak dahulu.
Ah, aku terlalu berlebihan berharap itu semua dari seorang Cyllia.
Aku dan seluruh kekasih bayangannya hanya dapat melihatnya, berbahagia hanya dengan mengendus harum tubuhnya, melihat rambutnya yang panjang tersibak, berterbangan terembus angin bersama dengan senyuman yang selalu bertakhta di sana.
Aku berjalan. Mendekatinya dengan badan yang masih gemetaran, tidak percaya dengan apa yang saat ini terjadi di depanku.
“Kenapa San?” tanyanya.
“Aku sayang sama kamu Cyll.”
“Aku cinta sama kamu.”
Wajah Cyllia memerah, ia lalu tersenyum simpul seraya memundurkan tubuhnya, “makasih, tapi kamu tahu kan yang terjadi saat ini.”
Aku mengangguk, “aku paham dengan kebodohan aku.”
“Tapi ini semua kayak yang kamu bilang Cyll.”
“Cinta itu gak harus memiliki kan Cyll.”
Gadis itu lalu menggelengkan kepalanya, “kamu boleh ngomong gitu kalo kamu mungkin gak punya orang yang kamu cinta.”
“Tapi kamu kan udah punya Aya, yang seharusnya bisa kamu cintain sekarang San, ketimbang aku.”