Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Jam sudah menunjukkan pukul dua dinihari saat Dinah memutuskan untuk berteduh dari siraman hujan.
Wajah gadis manis berusia enam belas tahun itu terlihat lelah dan gelisah. Sesekali kakinya yang dibalut sepatu kets mengetuk lantai rumah tua yang menjadi tempatnya berlindung.
Sambil memeluk tubuhnya yang kedinginan, ingatannya melayang ke saat ibunya meminta dia untuk pergi dari rumah.
"Dengar, Dinah!" Ujarnya seraya menempelkan kedua belah tangannya ke pipi putrinya itu. "Jiwamu dalam bahaya. Dia akan membawamu Dinah!"
"Siapa dia?" Tanya Dinah dengan suara serak. "Apa dia yang selalu mengikutiku sejak kecil."
"Itu tidak penting." Kali ini sang ayah berkata, "yang kami tahu, dia adalah bukan manusia."
"Apa yang diinginkannya dariku?"
Sang ibu menggigit bibirnya, " Ini semua salah kami. Dulu kehidupan kita sangat susah, sehingga kami meminta agar di beri harta yang melimpah. Sebagai balasan dia minta ...."
Ibu belum sempat menyelesaikan ucapannya. Saat itu juga tersengar suara raungan yang mengerikan.
"Tidak ada waktu lagi." Ayah melempar ransel berisi pakaian ke Dinah. "Ambillah uang dan ATM ini. Pergilah ke Pangrango dan temui orang pintar di sana. Kami berdoa agar beliau bisa menolongmu."
"Apa salahku?" Dinah merapatkan geraham saat angin gunung yang dingin menggigit merayap ditubuhnya yang ramping. "Kenapa mereka ...?"
Jantung Dinah terasa berhenti saat mendengar suara raungan yang menyerupai suara binatang buas itu terdengar dekat.
"Tidak ada waktu lagi." Dinah kembali memanggul ranselnya dan berlari membelah hujan.
Rumah orang pintar itu berada di ujung jalan setapak ini, batin Dinah terus mengulang-ulang kalimat itu.
Sementara itu, telinganya bisa mendengar suara derap kaki dan geraman mengerikan di belakangnya.
Senyum dan harapannya merekah saat melihat rumah yang terang oleh cahaya lampu minyak terlihat beberapa meter di depannya.
Tangannya yang mungil memukul-mukul pintu dengan keras. Mulutnya menjeritkan kata-kata yang meminta pertolongan.
Tidak lama pintu terbuka. Di dalamnya terlihat seorang kakek tua yang memegang lentera di tangan kirinya.
Dinah langsung ambruk. Suara gemetar, gadis itu menjelaskan permasalahan hingga nyaris kehabisan napas.
"Itukah setan yang mengejarmu?" kakek tua itu menatap tajam pada sosok yang berdiri diam beberapa meter di hadapannya. "Mahluk itu sangat jahat. Dia ingin memakanmu dan menyeret jiwamu ke dunianya. Dia adalah setan yang sangat kuat. Aku harus meminta bayaran yang sepadan kalau kau memang ingin aku menyingkirkannya."
"Aku membawa uang. Jika kurang, aku masih bisa ...."
"Apa kau pikir aku membutuhkan uang!?" Si kakek mendengus kesal.
"Jadi apa yang kau inginkan?"
"Aku menginginkanmu!" Si kakek menunjuk ke arah Dinah dengan jarinya yang panjang dan kurus. "Jangan memandangku seperti itu. Merelakan tubuhmu untukku jauh lebih baik dari pada apa yang akan menimpamu saat monster itu membawamu."
Mendengar itu Dinah tercekat.
"Aku memberimu waktu lima detik untuk berpikir." Si kakek kembali berkata.
Sementara itu, si monster mulai berjalan mendekati Dinah yang hanya bisa terpaku di tempatnya.
Aku harus bagaimana?
TAMAT