Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Aku gak bisa lakuin itu.”
“Kenapa? Prosesnya gampang Beb, mereka tinggal hisap embrionya pake tabung vakum, setelah itu selesai! Kehidupan kita bakal normal lagi!”
“Gak segampang itu Yang! ini masalah nyawa dalam perut aku!”
Sang gadis menatap wajah sang lelaki dengan tegas, sang lelaki pun mendecak kesal. Suasana restoran sedang sepi, selain sepasang remaja itu, hanya ada seorang wanita paruh baya dengan jas formal duduk di sudut ruangan, meminum kopi dan menikmati cahaya sore yang hinggap di wajahnya melalui kaca jendela besar.
“Terus gimana caranya biar kamu mau?”
“Aku gak akan pernah mau! Itu sama aja membunuh dia!”
“Beb, kamu tau sendiri orang tua aku itu pikirannya konservatif. Bisa kamu bayangin apa reaksi mereka, kalau tau anak lelaki satu-satunya yang mereka didik dengan baik sejak kecil, tiba-tiba hamilin anak orang?!”
“Ya, udah aku bayangin! Mungkin kamu bakal dibentak, dipukul, paling parah diusir! Tapi kita bisa hadapin semuanya sama-sama Yang! Ini tanggung jawab kita berdua!”
“Terus gimana sama—“
Seorang pelayan lewat dan sang lelaki pun segera menghentikan kalimatnya karena rasa malu. Setelah itu ia berbicara dengan nada yang lebih pelan, setengah berbisik.
“Terus gimana sama yang lain? Tetangga, saudara, teman-teman di sekolah? kita bakal habis dicibir!”
“Aku lebih pilih malu beberapa tahun daripada menyesal seumur hidup karena udah hilangin nyawa dalam perut aku!”
“Tapi kita baru enam belas tahun Beb, kita belum siap berumah tangga. Masih banyak mimpi yang harus kita kejar...”
Mereka pun terdiam. Cahaya sore meredup karena di luar sana, langit telah menutup wajahnya dengan awan gemawan. Seakan tak ingin lagi mendengarkan obrolan mereka. Perlahan mata sang gadis berair, perlahan air itu jatuh ke pipinya, dan perlahan ia pun terisak.
“Aku mau mati aja—aku mau mati, aku mau mati!”
“Beb jangan bilang gitu, please... aku sayang kamu Beb,”
“Terus apa yang harus kita lakuin Yang... apa...”
Melihat itu sang wanita paruh baya yang daritadi diam tiba-tiba bangun, lalu berjalan ke arah pasangan remaja, “Boleh saya ikut duduk?” ucapnya, suaranya sangat lembut dan elegan.
Sang wanita paruh baya memerhatikan wajah sang gadis dan sang lelaki bergantian, lalu tersenyum.
“Kalian cantik dan tampan, saya yakin anak kalian nanti akan luar biasa,”
Pasangan remaja itu kaget sekaligus bingung dengan wanita asing di depan mereka. Apa gerangan tujuan wanita ini?
“Saya hanyalah seorang wanita yang menghabiskan hidupnya dengan bekerja. Saya memilih untuk tidak menikah. Usia saya hampir lima puluh dan kini saya merasa sangat kesepian,” ucap sang wanita paruh baya. Terlihat gurat kesedihan di wajahnya yang terawat dengan baik itu.
“Saya mendengarkan obrolan kalian. Saya tahu masalah yang kalian hadapi, dan... mungkin kita bisa saling bantu.”
“Maksud ibu?” tanya sang gadis.
“Saya ingin adopsi anak kalian yang belum lahir. Saya akan besarkan dia seperti anak saya sendiri, agar saya tak sendirian di hari tua nanti. Sesekali kalian boleh menjenguk kita, jadi... gak perlu lagi ada janin yang harus dikorbankan hanya untuk menutupi sebuah dosa.”
Pasangan remaja itu pun berlinang air mata. Cahaya sore berpendar kembali, menyinari wajah sang wanita paruh baya yang tersenyum bagai seorang malaikat.