Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kosong. Begitu judul yang tertera di sampul depan. Di bagian belakang ada deskripsi bahwa buku itu berisi cerita hidup yang terkadang aneh menurutmu. Aku membelinya di toko buku online terpercaya dan selalu mendapat rating terbaik.
“Aku ditipu!”
Kulempar buku itu setelah lembar terakhir kututup. Menabrak dinding dan pelan-pelan merosot ke sela-sela ranjang. Menghilang dari pandangan. Hanya tersisa potret tiap lembar buku yang berisi kekosongan di galeri ponselku untuk kujadikan barang bukti.
Buku “Kosong” itu kubeli tanpa embel-embel diskonan. Harganya setara dengan karya best seller setebal tiga ratus sekian halaman. Dan yang kudapat hanya kekosongan?
Review buruk, bintang satu, foto bukti dan permintaan untuk penukaran barang sudah kulakukan. Aku mendapat balasan seperti umumnya toko yang tak mau merugi.
Barang yang sudah dibeli tak dapat dikembalikan. Silakan baca kembali deskripsi buku yang Anda beli.
Selang beberapa hari, kutemukan review yang menyanjung buku itu di toko yang berbeda. Aku masih berpikir jika buku yang kubeli, salah satu yang cacat produksi. Rasa penasaran membuatku untuk membeli lagi di toko yang telah mendapat ulasan positif. Sekali lagi yang kudapat hanya kosong.
Aku tak percaya kalau rasa kecewa justru membawaku untuk membuktikan sekali lagi. Kudatangi toko buku terlengkap di kota dan Kosong mengisi deretan rak buku yang agak tersembunyi. Segera setelah kubayar, segel buku itu kubuka. Kosong benar-benar kosong.
Kekecewaanku masih tak mereda perihal buku itu. Kuluapkan semua di media sosial. Tiga bulan setelah aku rajin menghujat buku tersebut, Kosong justru mendapat tempat di deretan buku terlaris. Aku tak terima! Masih banyak buku lain yang jauh lebih layak dari pada ratusan lembar kosong yang diberi sampul dan deskripsi menarik.
Semakin aku menghujat buku itu, semakin banyak pembelaan datang. Kosong berhasil membalik posisiku. Kini aku yang menjadi hujatan para penggila buku itu. Benar-benar muak. Kutuliskan dengan tinta merah kekesalanku pada Kosong di setiap lembarnya. Buku itu nyaris penuh dengan tulisanku. Hanya tersisa satu halaman kosong saja. Lantas kubuang begitu saja di bawah ranjang. Segalanya tentang buku itu akhirnya kuhapus. Tak ada lagi tulisan-tulisanku di media daring yang membahas Kosong.
Aku mencoba hidup normal seperti sebelum membuka buku itu meski pikiranku selalu berakhir ke sana. Lambat laun ingatan tentang Kosong terhapus oleh sibuknya pekerjaan. Ketika kebosanan melanda, aku mencoba menata ulang kamar. Kutemukan tiga buku Kosong di bawah ranjang. Penuh debu. Buku pertama kubuka masih menampakkan kekosongan. Buku kedua berisi beragam coretan hari-hariku yang berubah aneh karena buku itu. Buku ketiga hanya kubalik, menampakkan sampul belakang.
“Buku ini berisi cerita hidup yang terkadang aneh menurutmu.”
Kubaca deskripsi buku itu bercampur tawa sebab aku pun sudah jadi penggila buku Kosong.