Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Gelap. Nona memelukku dalam tidurnya. Ibu pulas di samping Nona setelah beberapa saat lalu mencium kening Nona. Sementara aku, aku tidak pernah tertidur. Aku menyaksikan semua hal yang terjadi, pun malam itu.
Tiba-tiba tiga iblis masuk ke rumah, mencongkel kunci pintu, mengacak-ngacak rumah, lalu menganggu tidur ibu dan Nona. Ibu dijambak ketika melawan. Nona berteriak. Namun, kekejian itu makin menjadi seirama dengan teriakan Nona yang kian keras. Tiga iblis itu melakukan sesuatu pada Nona. Mereka tertawa meski Nona menjerit kesakitan. Ibu tak kuasa melakukan sesuatu, hanya menangis menyaksikan kekejian itu terjadi. Kesadarannya lama-lama menghilang, dan menyisakan rasa sakit di lehernya karena sentuhan parang dari para iblis yang tak ingin ibu berisik.
Sejak saat itu aku mengenal warna merah yang lain. Warna merah yang mengalir dari selangkangan Nona dan warna merah yang mengalir dari leher ibu.
Ya malam itu, malam yang keji. Malam terakhir kali aku di pelukan Nona. Setelah itu, aku tak pernah kembali ke pelukan Nona. Aku terbengkalai di sudut ruangan, di bawah jendela kamar, menyaksikan semua, diam-diam.
Amarah Nona akan memuncak jika melihatku. Lalu dia akan pergi malam-malam. Saat pulang, Nona menjadi waras, lalu melukis kembali di dekatku.
“Kamu hanya lukisan, sepasang sayap yang kukira akan membuatku terbang ke tempat indah. Sekarang, aku akan memberimu teman, sepasang sayap yang akan mengantar kita ke neraka.”
Malam ini, aku memiliki teman baru, tiga lukisan sepasang sayap berwarna merah beraroma darah tiga iblis.
Nona berdiri, menatap keluar jendela. Dia tersenyum tipis. Sejak saat itu, Nona tetap melukis, hanya saja bukan dengan tinta, melainkan dengan darah.