Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hari itu aku berada di sekolah, dengan seragam berwarna coklat. Seragam yang sepertinya biasa aku lihat. Sekilas aku menengok pada teman semejaku yang sedang asik mengobrol dengan teman yang lain. Sudah bel masuk, namun belum ada guru yang datang ke kelas. Suasana kelas menjadi riuh karena teman-teman sekelasku justru asik bercanda, bukannya mempersiapkan buku pelajaran.
Aku menengok ke belakang. Tatapanku bertemu dengan siswa yang cukup tampan di kelas itu, duduk di bangku paling belakang. Ia tersenyum padaku. Aku ragu membalas senyumnya. Lalu ia berdiri, berjalan menghampiriku.
“Kau sudah mengerjakan PR kan?” siswa itu mengelus puncak kepalaku.
“Freya tidak mungkin lupa mengerjakan PR lah Dim.” Teman sebangkuku yang menjawab.
“Dimas, ayo duduk di kursi kamu.” Seorang guru perempuan masuk ke dalam kelas. “Jangan pacaran terus.”
Aku melirik sekilas pada siswa yang dipanggil Dimas itu, ternyata dia adalah pacarku.
Selama pelajaran berlangsung aku selalu menyempatkan diri untuk melihat sekilas ke arahnya, begitupun ketika jam istirahat. Aku selalu menengok ke arahnya seperti sebuah sistem yang sudah terseting, dan dia selalu membalas tatapanku dengan senyum yang membuatku merasa nyaman. Beberapa kali dia menyempatkan diri menghampiriku dan mengusap puncak kepalaku. Aku seperti kucing yang haus belaian sang majikan. Aku menyukainya, Dimas yang sepertinya adalah pacarku.
Jam pulang tiba. Dimas mengantarku sampai halte bus seberang gerbang sekolah. Banyak sekali orang yang menunggu bus di sana. Sebagian orang memiliki kulit putih pucat. Bahkan wajah dan bibirnya pucat. Sampai aku terkejut ketika ada yang menepuk pundakku.
“Freya, kamu harus bisa bedakan mana manusia dan yang bukan.” Gadis yang berbicara itu aku tak mengenalnya, tapi aku tahu dia teman sekelasku.
Aku tak mengerti apa maksudnya. Namun kalimatnya tersebut membuatku mengamati sekitar. Orang-orang yang memiliki wajah pucat di halte itu beberapa menengok ke arahku. Aku sadar tatapan mereka begitu mengerikan. Kakinya tak menapak di tanah. Gadis pucat di samping kananku bahkan menyunggingkan senyum mengerikannya. Aku buru-buru membuang muka, menghindar.
Aku naik bus yang membawaku ke perkampungan di ujung kota kecil itu. Senja hampir tiba. Banyak penumpang yang bukan manusia naik turun. Untungnya aku yakin bahwa supir yang membawa bus itu adalah manusia. Setidaknya aku merasa aman, walau aku sebenarnya ketakutan.
Lalu aku turun, di halte dekat rumah dengan halaman paling besar. Kakiku membawaku masuk ke dalam rumah itu. Bau anyir menyeruak. Darah yang sudah setengah mengering tercecer di lantai. Lantai putih ternodai dengan darah di banyak tempat. Semakin masuk anyir darah semakin menusuk. Dan aku mulai melihat beberapa tubuh dengan perut terkoyak tergeletak di lantai dan meja. Satu orang perempuan setengah baya, satu orang lelaki yang sepertinya adalah suaminya, dan satu orang lagi adalah aku. Tubuhku.
Aku bergerak menghampiri kaca besar di ruangan itu. Melihat pantulan diriku. Senyum miring tersungging di bibir tipisku. Menambah cantik wajah mungilku.
Kupandangi sebuah foto keluarga yang tergantung di dekat cermin. Perempuan dan laki-laki yang meninggal itu, dan putrinya. Wajah putrinya adalah wajah yang sekarang menatapku di cermin.
“Aku berhasil mencuri tubuhnya.”
Tubuhku yang sebenarnya, tergeletak tak bernyawa di ruangan itu.
Aku menghancurkan kota ini. Dan membunuh banyak orang. Serta diriku sendiri.
###