Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tidak tahu peranku apa dalam kehidupanmu, namun yang kutahu kamu adalah sasaran sempurna untuk setiap hariku.
Aku tidak ingat kapan terakhir kalinya bangun dan tersenyum bahagia. Setiap pagi di mana kehidupanku di mulai, tidak pernah sekalipun bibirku terangkat menciptakan lengkung manis. Entah kenapa hatiku selalu berada di jurang kesedihan.
Benar-benar nestapa.
Apa kehampaan ini yang menciptakan semuanya? Ruang kosong tanpa kehidupan hangat. Sofa yang begitu dingin tanpa tungku api, atau apa semuanya di mulai kala langit menjadi muram dan menggelegarkan amarah dengan kilat menyambar dan hujan turun amat lebat?
Aku tidak tahu pasti. Mungkin, yang lebih tampak jelas, aku harus melupakan semua beban itu dan menjalani hidup seperti manusia normal. Aku akan memulainya dengan berjalan keluar dari kamar apartemen menuju coffe shop.
Berdiri di depan front desk setinggi hampir satu meter, kedua mataku menggeledah papan besar berisi berbagai macam menu yang disajikan.
“Selamat datang. Mau pesan apa?” sapa si pelayan dengan senyuman ramah, jemari kanannya bersiap diatas layar monitor di depanku.
"Mochaccino," kataku setelah memilih.
"Dine in atau take away?” tanyanya seraya menatapku.
“Take away, mungkin,” jawabku dengan ragu seraya berpikir.
“Oke. Ada tambahan lain?”
“Nope,” jawabku langsung menyambar.
“Totalnya empat puluh lima ribu.”
Kuarahkan layar ponsel yang menampilkan barcode pada scanner kecil di samping monitor hingga terdengar bunyi ‘beep’.
“Silakan menunggu di kursi yang sudah kami siapkan!" pinta si pelayan sembari memberikan struk serta satu nomor meja yang menjadi tempatku untuk menunggu pesanan datang.
Setelah beberapa menit, seorang pelayan datang mengantarkan mochaccino yang telah kupesan. Untuk beberapa saat aku menikmati minumanku dengan penuh ketenangan sampai di menit berikutnya, tepat di hadapanku seorang pria bertubuh besar nan kekar menodongkan senjata laras panjang dengan wajah tertutup topeng badut.
"Berikan semua uangmu!!" teriaknya dengan lantang.
Aku benar-benar kehilangan detak jantung dan napasku tercekat beberapa detik.
"Cepat berikan!” teriaknya lagi membuatku tersentak kaget.
Kali ini kudapati lagi debar di dada dengan napas yang mulai tenang.
"Aku mendapatkan namamu di sini. Senang bertemu denganmu," kataku mengeluarkan sebuah amplop hitam berisi nama yang tercetak dengan tinta perak, "Gerald Charlie. Namamu, bukan?" imbuhku kemudian tertawa dengan mulut menganga sampai rasanya rahangku hampir retak.
“Apa maksudmu?” sentaknya dengan wajah heran, “Jangan macam-macam atau kutembak.”
Aku menghitung sampai tiga, lalu menatapnya dengan seringai.
Bunyi hantaman terdengar cukup keras diiringi jeritan orang-orang yang berada di dalam coffe shop ketika menyaksikan sebuah truk menembus dinding kaca dan menghantam tubuh pria bernama Gerald Charlie tersebut sampai terhimpit di sudut ruangan. Darah segar mengucur membasahi lantai coffe shop. Sirine mulai terdengar dari kejauhan. Beberapa orang diamankan dari tempat kejadian. Evakuasi korban dan truk segera dilakukan sementara saat itu terjadi aku sudah berada di taman dengan secangkir mochacinno di tanganku.
"Sungguh indah," gumamku sebelum menyesap kopi yang hampir dingin ini.