Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Grace Alexia
Aku menatap lembut pada sosok yang kini sedang bergerak dengan lincah di lapangan.
Sosok tegap itu me-drible bola basket sambil tersenyum lebar. Seolah-olah, bola basket adalah separuh dari hidupnya. Kemudian, sosok itu melempar bola dan berhasil mencetak angka. Three point. Semua teman-temannya langsung bersorak dan berlari menghampirinya. Gemuruh tepuk tangan membahana, membuatku ikut memamerkan senyum sambil menopang dagu. Terik matahari seakan tidak menurunkan semangat sosok itu. Aku pun tidak pernah bosan menatapnya yang saat ini tertawa sambil ber-high five ria dengan semua temannya. Sampai kemudian, sebuah tepukan ringan membuatku menoleh.
Kirana. Sahabatku.
“Nggak pernah bosan ngeliatin dia, Grace?”
Aku menggeleng. Kupersilahkan Kirana untuk duduk di sampingku. Kirana dan aku sudah bersahabat sejak kami berdua masuk ke SMA ini. Sekitar enam bulan yang lalu. Artinya, aku juga sudah mengagumi sosok tersebut selama enam bulan juga.
Ralat. Aku bukan sekedar mengaguminya.
Aku mencintainya.
“Kenapa lo nggak nyoba untuk bilang sama dia soal perasaan lo? Dia berhak tau, loh. Lo juga berhak untuk bikin dia tau.”
“Gue cewek, Ran... apa yang ada di pikiran kak Reynald nanti? Bisa-bisa, gue dianggap sebagai cewek gampangan.” Aku mendesah panjang dan kembali menatap sosok Reynald Argenzo.
Ya. Dia seniorku. Anak kelas tiga. Sebentar lagi akan lulus.
“Nggak bakalan lah kak Reynald mikir lo sebagai cewek gampangan,” kata Kirana sambil merangkul pundakku. “Dia itu orangnya baik. Dia ramah sama siapa aja. Lagian, sekarang itu zamannya emansipasi.”
Aku kembali menggeleng.
“Dia mau ngobrol sama gue aja, gue udah senang, Ran. Seenggaknya, gue bisa jadi cewek yang dekat sama dia.”
Kirana menghela napas panjang dan aku tidak menghiraukannya. Yang kulakukan hanyalah terus menatap ke arah kak Reynald. Sampai kemudian, laki-laki itu menoleh ke arahku dan tersenyum.
Lalu, jantungku yang malang mulai menghentak dada. Membuatku merasa sesak karena terlalu senang dengan senyumannya.
***
Aku dan kak Reynald memang sering menghabiskan waktu bersama di luar jam sekolah. Seperti yang aku bilang, aku dan kak Reynald memang dekat. Aku memang ikut klub basket, sama seperti kak Reynald.
Aku sangat suka dengan senyuman kak Reynald. Aku juga menyukai mata kak Reynald. Laki-laki itu berbicara bukan hanya dari mulut saja, tetapi juga dari gerak tubuh dan kedua matanya. Seperti saat ini, ketika aku mendengar celotehan kak Reynald mengenai kemenangannya. Dia mentraktirku es krim karena sekolah kami keluar sebagai pemenang dalam lomba basket antar sekolah.
Kak Reynald terlihat seperti anak kecil jika sedang makan es krim seperti ini. Kuperhatikan wajahnya dan kuhela napas. Seandainya kak Reynald sadar akan perasaanku padanya.
Sampai kapan pun, aku akan selalu mencintai kamu, Kak... kamu... cinta pertamaku.
***
Reynald Argenzo
Aku menggigit bibir bawahku dan menghembuskan napas berat. Kusandarkan punggung pada sandaran sofa. Tiga hari yang lalu, aku mendapat kabar bahwa Grace meninggal dunia akibat kecelakaan. Lalu, sahabatnya yang bernama Kirana memberikan sesuatu kepadaku.
Sebuah video.
Video tentang curahan perasaan Grace padaku.
Seandainya, aku bisa lebih peka. Seandainya, aku bisa memutar ulang waktu. Karena sesungguhnya, aku juga mencintainya. Sejak awal aku dekat dengannya.
Dia... cinta pertamaku.
“Terima kasih, Grace... karena udah mencintai gue... meskipun gue terlambat mengetahuinya.”