Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kudengar suara mobil diparkir disambung dengan deru motor juga langkah kaki dan hentakan kuat di dekat atap, itu pasti Eros yang mendarat seenak perut.
Kurasa sudah waktunya aku menyajikan makanan. Adik-adikku tersayang sudah pulang. Jam di dinding menunjukkan pukul enam sore. Pasti mereka akan memprotes dengan suara renggekan anak kecil. Bisa saja kedua adik manisku serta dua anak kembar anak sahabat ayah itu mengatakan dan mendeklarasikan mengenai kedewasaan mereka, tetapi di mataku mereka tetap adik-adik yang harus kujaga.
Lagipula siapa lagi yang berani memperingatkan akan kebiasaan buruk mereka setelah orangtua kami pergi selamanya, selain aku. Si sulung sok tahu, Isis.
“Argh… tidak!” Kama merapikan poni--yang selalu berubah-ubah warna--saat memasuki ruangan sambil menatap aku yang mengenakan celemek putih.
“Makan malam,” ucapku. Lalu membuka panci yang mengepul serta menaruh sepiring ayam goreng.
“Ayam goreng!” seru Freya.
Aku tidak pernah tahu bagaimana cara adik manis ini tetap langsing dengan kebiasaan hanya makan daging.
“Soto ayam.” Aku mengedarkan mangkuk berisi bihun, irisan kol, wortel, selada, tomat, telur rebus, suwiran ayam serta perkedel kentang. Aphrodite tersenyum. Menuangkan begitu banyak kecap manis.
“Bagaimana caramu memakan soto yang kini berubah menjadi sop kecap.” Gelengku pelan. Sedangkan adik bungsu hanya tersenyum menikmati suapan pertama.
Freya perlahan memindahkan sayuran ke mangkuk sebelah. Eros selalu bersedia menerima apa pun yang tidak disukai Freya, si pencinta ungu. Aku memicingkan mata.
“Sayuran tidak enak! Ayam goreng saja, perkedel dan kuah,” cenggir Freya lebar.
Aku hanya menggeleng pelan sambil berdecak. “Setidaknya habiskan tomatnya.”
Freya merenggut.
“Ayo segera dimakan.”
Kulihat Eros masih memainkan lembaran bihun, sedangkan Kama terlihat ogah-ogahan mengaduk.
“Aku belum lapar,” ucap Kama dan Eros bersamaan.
Walau keduanya berusaha untuk tidak terlihat sama, tapi kembaran ini memiliki hal-hal yang menghubungkan.
“Makanlah sedikit,” bujukku.
“Kami su--”
Kurasakan erangan pelan dari Eros. Dia pasti sedang diinjak kakinya atau disikut tulang rusuknya oleh Freya. Sekedar mengingatkan bahwa aku tidak suka penolakan.
“Kami belum lapar. Kenapa harus dipaksa makan?” tanya Kama kesal.
Sementara itu Aphro menatap pria berambut warna-warni ini cemas. Ketegangan terasa. Mungkin salahku memaksakan kehendak atas semua ini. Aku terdiam juga.
Kurasa sudah pernah kukatakan pada mereka bertahun-tahun yang lalu, ketika mereka beranjak remaja dan mulai mengerti tentang hidup. Tapi sepertinya mereka lupa.
Kutekankan bahwa makan bersama di meja makan adalah hal penting. Saat duduk bersama di meja makan, kita akan bertukar cerita. Dari satu kisah ke kisah lain. Dari satu peristiwa ke peristiwa penting lainnya. Berbagi keluh kesah. Membuat otak dan pikiran lebih lepas. Dan yang tepenting, membentuk ikatan keluarga yang selalu hangat serta penuh perhatian. Maka dari itu, jika tidak ada halangan yang begitu besar, pulanglah untuk makan malam bersama.
Aku melepaskan celemek, menatap mereka sesaat lalu berjalan keluar.
"Kak...." Freya berucap lirih.
Aku diam, melanjutkan langkahku. Sepertinya aku perlu mencari ketenangan.
Ucapku pelan, “karena aku selalu takut, suatu hari nanti, suatu saat nanti, akan tiba hari dimana tidak dapat menikmati kebersamaan di meja makan lagi bersama kalian.”